"Ih lo apa-apaan sih, Fik?" Tukas Riri.
Mereka telah sampai di rooftop sekolah. Tempat yang paling aman untuk bersembunyi kalau sedang malas belajar. Laki-laki itu menyuruh gadis itu duduk dibangku kayu yang panjang. Dengan memasang wajah yang menahan hasrat agar tidak terlalu kasar pada gadis yang sedang berada dihadapannya. "Duduk doang apa susahnya sih?!"
Riri menuruti kemauan laki-laki itu. Dari pada ia harus beradu mulut lagi yang pasti tidak akan ada habisnya. Laki-laki itu berjongkok dihadapan Riri. Dengan kepala yang menatap bola mata yang berwarna hitam pekat sang gadis. "Kamu kenapa? Kok menghindar dari aku?!" Tanya Fikri dengan lembut.
Eh, bentar dulu. Tadi barusan Fikri berucap lembut? Bukankah dirinya itu habis memaksa gadis itu untuk mengikuti kemauannya? Dasar pria aneh.
"Ck, gak papa." Membuang wajah dengan mengarahkan pandangan agar tidak menatap Fikri yang terlihat nyebelin.
Diam-diam Fikri menyunggingkan senyuman tipis. Gadis yang sedang ada dihadapannya itu begitu manis. Ah, dirinya seperti sedang di mabuk cinta.
"Apa aku berbuat salah sama kamu? Jelasin supaya aku paham dan ngerti letak kesalahanku." Riri memutar bola matanya dengan malas. Ia jengah mendengar ucapan Fikri. "Gue risih dekat lo, mending jauh-jauh deh dari gue. Emangnya cewek lo gak cemburu kalau lo dekat sama gue?!"
Dahi laki-laki itu mengerut. Memijat pangkal hidung mancungnya. "Pacar maksud kamu?" Ia tertawa. "... aku belum punya pacar, Ri."
Riri menjadi bingung saat menatap laki-laki itu. Pikirannya sudah mulai tidak jelas, bagaimana tidak? Disini suasananya sepi, bahkan satu orang pun tidak ada. Ya jelas aja sepi, ini kan tempat perkumpulan gerombolannya Dikta. Jadi hanya mereka yang sering mengunjungi tempat ini.
"Kenapa? Kamu takut?" Perlahan Fikri mendekat kearah Riri. Gadis itu menahan tubuh Fikri agar tidak terlalu dekat. "APA-APAAN LO? LO PIKIR GUE TAKUT SAMA LO? APA LO PIKIR GUE CEWEK JADI TAKUT SAMA LO?! HELLO, GUE RIRI, SI CEWEK PEMBERANI!" Saat mengucapkan 'gue riri, si cewek pemberani' itu seperti slogan yang baru pertama kali Fikri dengar.
Dalam hati ia bertanya-tanya, padahal kan dirinya itu tidak berbuat sesuatu yang dapat membahayakan gadis itu. Tapi kenapa dirinya yang malah kena semprot? Ck, untung sayang.
"Udah marah-marah nya? Kalau belum puas, gak papa. Puas-puasin aja marah-marahnya. Aku malah tambah sayang sama kamu." Fikri jarang berbicara dengan lawan jenis. Kalau pun ada, itu hanya sebatas teman, gak lebih. Berbeda dengan Riri, salah satu gadis yang berhasil menarik perhatiannya. Gadis yang begitu galak di matanya membuatnya tertarik untuk mendekatinya lebih dalam.
"Gue mau balik ke kelas lagi," Fikri menjambak rambutnya dengan frustasi. Ia bingung bagaimana caranya untuk mengajak gadis itu berbicara secara baik-baik. "Oke nanti kamu akan aku lepaskan, tapi jawab dulu pertanyaanku yang tadi."
"Tadi kan udah gue jawab, kalau gue risih sama lo. Gue gak suka lo dekat-dekat sama gue. Apa jawaban gue kurang jelas?!" Pekik Riri.
Sebenarnya, Riri tidak mau berkata sekasar itu pada Fikri. Ia tahu niat Fikri itu baik, dia menghargai itu. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau Riri menyimpan rasa sama Dimas yang tak lain sahabat Fikri juga.
"Apa tadi kamu bilang? Risih? Aku gak salah dengar nih?! Apa kabar sama Dimas yang jelas-jelas kamu sering diabaikan sama dia."
Jeder
Benar juga sih. Riri tidak menyangkal perkataan Fikri. Kali ini dia benar. Dia menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Riri yang masih didalam otak. "Aku tau kamu itu bukan cewek sembarangan yang bisa didekatin, tapi apa sadar kalau kamu lagi melakukan suatu pembodohan cinta yang selama ini gak pernah kamu rasakan?!"
Tubuh gadis itu terasa kaku. Pikirannya tertuju pada Fikri, namun dalam hatinya berteriak untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Fikri. "Sekarang kamu diam? Kenapa? Apa ucapan aku benar? Tolong koreksi kalau ucapanku ada yang kurang jelas."
Lagi-lagi Fikri menurunkan ego nya. Ia kembali berjongkok dihadapan sang gadis. "Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah mulai mencintaimu. Diam-diam aku memperhatikanmu, diam-diam aku sadar kalau aku benar-benar ada rasa sama kamu. Apa sedikit pun gak ada tempat untuk aku masuk kedalam hidupmu? Maaf, kalau aku yang menaruh rasa sama kamu. Bukannya si Dimas, laki-laki yang kamu suka. It's ok, cinta gak bisa dipaksa dan cinta gak harus memiliki. Aku udah jujur sama kamu, terserah kamu mau jawab atau engga. Aku tau, mana mungkin sih seorang Riri membalas perasaan seorang Fikri yang tiba-tiba perhatian sama kamu." Fikri berdiri sambil mengeluarkan sesuatu yang dapat Riri lihat.
Perlahan Fikri mengambil tangan kanan Riri lalu memberikan robekan kertas kecil. Gadis itu melihat tulisan yang ada di robekan kertas tadi. Disana hanya ada nomor telfon seseorang yang tentu Riri tidak tahu.
Fikri dapat menebak kalau gadis itu pasti bingung menjawab pertanyaannya. "Ini nomor telfonku, nanti kalau emang udah tau jawabannya bisa kabarin aku. Mau tentang penerimaan atau penolakan, aku terima apapun yang kamu pilih. Sekarang kamu bisa pergi dari sini, jaga diri baik-baik. Pikirin secara matang-matang supaya kamu gak salah pilih." Mulai dari situ, Fikri meninggalkan Riri yang masih ada di rooftop sekolah.
Entah mengapa saat laki-laki itu mengucapannya seperti ada rasa ketidakrelaan. Dalam hati ia menolak keras jawaban yang baru saja Fikri ucapkan.
"Jadi begini ya rasanya di cintai?" Gumam Riri.
******
Dikta sedang bersama sahabatnya. Saat ini ia ada dikelasnya, kebetulan jam pelajaran kosong. Gurunya tidak masuk kelas karena ada kepentingan, hanya di beri tugas dan Dikta sudah selesai mengerjakannya. Hanya tinggal menunggu di kumpul bersama ketua kelas. "Eh--- Fikri kemana?" Tanya Dikta yang tidak melihat salah satu sahabatnya. Biasanya Fikri ada bersamanya, tapi kok tumben sahabatnya itu gak ada ?
"Kayaknya dia lagi sama si riri," jawab Kiki.
Dahi Dikta mengerut, ia kembali mencerna baik-baik perkataan Kiki. "Riri? Sahabatnya Kala itu?" Kiki kembali mengangguk. "Kayaknya sih dia suka sama tuh cewek. Padahal ya, banyak yang suka sama si Fikri, tapi kenapa dia malah tertarik sama tuh cewek." Cerocos Kiki.
Dikta jadi teringat ucapan Kala. Ia baru ingat kalau Riri yang tak lain sahabatnya Kala itu kan menyimpan rasa sama Dimas. Tapi kok jadi Fikri yang menyimpan rasa sama Riri?
Diam-diam laki-laki itu tersenyum tipis. Ia sedikit berbicara dalam hati.
Lucu memang, cinta datang karena terbiasa. Dan cinta juga datang tanpa bisa ditebak. Batin Dikta.
"Dim," panggil Dikta. Dimas merasa terpanggil saat sahabatnya menyebut namanya. "Kenapa, Dik?"
"Lo udah tau kalau si Riri suka sama lo?" Sebenarnya Dikta tidak mau menanyakan yang memang agak sedikit sensitif untuk hati seseorang. Tapi Dikta tidak mau masalah ini terus berjalan, ia harus mengakhirinya. Ia tidak mau ada kesalahfahaman antar sahabatnya.
Dimas mengangguk sambil memainkan gitarnya. "Gue udah tau." Teman-temannya melongo sata tau jawaban dari Dimas. "Kalau lo tau, kenapa gak di balas aja perasaan si Riri?"
"Gue gak mau buat dia berharap. Gue udah suka sama seseorang, Dik. Gue gak mau buat dia terlalu berharap sama gue. Gue tau kalau ini salah, tapi ini jalan satu satunya supaya riri berhenti untuk mencintai gue."
Perkataan Dimas berhasil membuat seseorang sulit bergerak. Ya, seseorang itu adalah Riri. Padahal niat dia ingin menghampiri laki-laki yang selama ini ia suka, tapi seketika langkahnya berhenti saat Dimas menjawab pertanyaan Dikta. Di balik pintu kelas, ia sudah mendengar semua penjelasan Dimas. Terbayar sudah pertanyaan-pertanyaan Riri yang selama ini dipendam.
Jadi gue bukan satu-satunya orang yang ada di hatinya? Batin Riri.
******
Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.
Happy reading♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bintang [END]
Novela Juvenil"Kita yang berbeda." untuk yang pertama kalinya, dia menyukai perempuan yang bisa membuat hatinya terpikat. dia bukan seperti perempuan pada umumnya, dia hanyalah dia yang hanya bisa menjadi dirinya sendiri, dan untuk yang pertama kalinya seorang an...