Sejak seminggu yang lalu, saat kejadian sahabatnya dipinjam sama Fikri. Entah kenapa Kala merasa kalau Riri agak sedikit lebih diam, gak seperti biasanya aja. Kala udah berusaha untuk berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama, tapi sahabatnya itu masih enggan untuk berbicara. Sebagai teman sebangkunya, agak sedikit merasa aneh aja.
Sepulang sekolah, Kala akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Fikri. Kebetulan laki-laki itu sama dirinya beda gedung. Kala anak IPS, sedangkan Fikri anak IPA--- sama seperti Dikta.
Baru sampai didepan kelas Fikri, ia melihat laki-laki itu yang sedang duduk dengan pandangan yang kosong. Dugaan Kala benar, mereka berdua pasti ada masalah. Kalau tidak ada masalah, kenapa tiba-tiba si Riri berubah menjadi pendiam seperti itu?
"Sorry, lo udah lama nunggu, ya?" Kala melirik arlojinya. Terlambat lima menit, begitu pikirnya.
"Gak papa, ada apa, Kal?" Gadis itu duduk disalah satu bangku yang kosong. Sebelum bicara, ia menghela nafas sebentar. "Sebenarnya gue gak mau ikut campur sama urusan kalian berdua, gue sahabatnya Riri--- yang jelas-jelas teman sebangku gue. Seminggu belakangan ini dia berubah menjadi pendiam, kadang sering melamun. Gue gak tau penyebab utamanya apa, tapi pas gue pikir-pikir, sejak ketemu sama lo waktu itu dia langsung menjadi Riri yang gak gue kenal."
Fikri mencerna baik-baik perkataan Kala. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini, bagaimana pun juga, mereka berdua turut andil dalam masalah ini. "Gue yang salah, Kal."
Kala menaikkan satu alisnya. "Maksud lo apa?"
"Waktu itu gue jujur sama dia kalau gue suka sama dia. Gue gak mau lihat dia cinta sendirian. Gue tertarik sama dia sejak pertama ketemu, gue gak bisa nahan diri untuk gak jujur sama Riri. Dia mencintai orang yang salah, dia suka sama Dimas, tapi si Dimas suka sama orang lain." Kala menutup mulutnya. Saking tidak percayanya sama perkataan Fikri. Hidup temannya sedang berada di kebimbangan. Apa ini? Dirinya sampai tidak tau tentang yang sebenarnya. "Gue gak bisa lihat Riri seperti ini mulu, Fik,"
Fikri mengedikkan bahunya. Dia sendiri juga tidak tau menahu bagaimana caranya untuk membujuk Fikri. Padahal kan waktu itu Fikri memberikan nomor telfonnya, sampai sekarang pun belum ada tanda-tanda Riri merespon jawabannya.
"Apa yang bisa gue bantu, Fik?"
Fikri menggaruk tengkuknya. Mendadak gugup kalau ditanya cara untuk mendekati Riri. "Gue juga udah pasrah, Kal. Gue udah berusaha. Itu sih terserah Riri mau responnya gimana, So disini gue udah jujur sama perasaan gue." Kala menatap sendu laki-laki yang sudah beranjak dari tempat duduknya. Ia tahu, disatu sisi Fikri merasa sedih karena belum mendapat jawaban dari sahabatnya, tapi di sisi lain, ada Riri yang butuh semangat dari dirinya.
******
"Eh kok tumben lama," ucap Dikta yang sedang duduk di jok motor sambil membuang puntung rokok. "Aku habis ketemu sama Fikri,"
Dikta memasangkan helm pada Kala. "Ish... udah berapa kali aku bilang ke kamu kalah ngerokok itu gak baik untuk kesehatan" tegur Kala. Ia sudah berusaha untuk menegurnya, laki-laki itu hanya menanggapinya dengan senyuman saja. "Iya gak lagi kalau ada kamu,"
"Ck, gak gitu juga. Masa cuma ada aku aja kamu gak ngerokok? Gimana kalau aku lagi gak ada disamping kamu?!"
"Iya aku salah, maaf." Lalu mereka kembali berbicara saat masih diperjalanan. "Aku bingung nih, Dik," ujar Kala yang tiba-tiba berbicara dengan Dikta sedikit berteriak. Laki-laki itu sempat menengok sekilas. Ia hanya melihat gadis itu lewat pantulan kaca. "Emang kamu ngomong apa sama Fikri? Kok sampai bingung gitu?!"
"Aku nanya sama dia kenapa riri jadi berubah jadi pendiam. Sejak ketemu sama dia, entah kenapa Riri jadi berubah gitu. Aku juga gak tau ya yang pasti sih, dia bilang kalau Fikri udah jujur tentang perasaannya sama Riri. Aku juga kaget sewaktu dia bilang begitu." Dikta menghela napas panjang. Sebenarnya ia juga ingin memberitahukan sesuatu yang pasti Kala belum tau. "Aku mau bilang sama kamu, berhubung aku lagi sama kamu aku mau langsung bilang aja. Kamu sendiri yang bilang kalau Riri suka sama Dimas, iya kan?"
Kala mengangguk. "Iya,"
"Waktu itu aku coba tanya sama Dimas mengenai Riri yang suka sama dia. Kamu mau tau gak jawabannya apa?" Kala mengangguk cepat. "Terus dia jawab apa?!"
"Dia bilang udah suka sama seseorang. Dia sengaja gak merespon Riri ya karena gak mau naruh harapan sama dia. Lebih baik Riri yang mundur perlahan, dari pada sakit akhirnya." Seperti ribuan angin yang perlahan merebut pasokan udara Kala saat ini. Otaknya terus berputar untuk mencari jalan keluarnya. Seperti ada yang mengganjal dalam perkataan Dikta tadi. Tidak mungkin juga kan seseorang langsung merubah sikapnya yang tadinya periang kini berubah menjadi pendiam tanpa alasan?
"Waktu kamu nanya ke Dimas, disana ada siapa aja?" Dikta kembali mengingat saat ia berada didalam kelas bersama sahabatnya. "Biasalah anak IPA kelasan aku, sama teman-teman aku paling. Kenapa emang?"
"Kamu yakin cuma itu aja? Coba ingat-ingat lagi, Dik." Desak Kala.
Saat tiba dilampu merah, Dikta kembali berpikir. Seperti kaset yang sudah baik-baik disusun kini terputar lagi didalam kepala. "Kayaknya sih itu aja Kal, maksud omongan kamu itu pasti ada orang lain yang mendengar jawaban Dimas, gitu?" Kala mengangguk. Ia setuju sama Dikta. Satu pemikiran. "Aku berpikiran gitu juga sih. Tapi mana mungkin Riri ke kelas kamu?"
Saat melihat lampu lalu lintas yang tadinya berwarna merah kini berubah menjadi lampu kuning agar pengemudi jalan hati-hati. "Nanti aku coba bantu, ya." Ucap Dikta. Wanita itu mengangguk patuh. Untuk saat ini, ia butuh seseorang yang mau mendengar ceritanya. Biasanya ada Riri yang selalu menjad tempat ceritanya disaat dirinya dalam kebimbangan. Tapi kini sahabatnya sedang ada masalah yang mungkin hanya bisa dipendam untuk saat ini. Lagi pula hidup gak selamanya tentang kebahagiaan kan?
"Udah gak perlu kamu pikirin, nanti kita sama sama cari jalan keluarnya." Dikta berucap seperti itu agar kekasihnya itu tidak terlalu kepikiran.
Tidak terasa, mereka sudah sampai tepat didepan rumah Kala. Selama diperjalanan, sama sekali gak kerasa kalau ternyata mereka berdua ngobrol. Kala memberikan helm pada Dikta. "Makasih ya udah mau nganterin. Mau ketemu ibu dulu gak?"
Dikta menyunggingkan senyum tipis. "Lain kali aja, titip salam buat ibu. Bilangin kalau aku kangen kue bolu buatan ibu." Lalu Dikta menyalakan mesin motornya, sebelum Dikta pergi gadis itu sempat melambaikan tangannya. "Hati-hati dijalan." Ucap Kala.
Perlahan-lahan pandangan Dikta mulai menjauh dan menghilang. Setelah itu Kala masuk kedalam rumah untuk membantu ibu yang sedang membuat kue.
"Hmmm...aromanya wangi banget. Pasti ibu lagi buat kue brownies nih." Gumam Kala.
******
Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.
Happy reading♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bintang [END]
Novela Juvenil"Kita yang berbeda." untuk yang pertama kalinya, dia menyukai perempuan yang bisa membuat hatinya terpikat. dia bukan seperti perempuan pada umumnya, dia hanyalah dia yang hanya bisa menjadi dirinya sendiri, dan untuk yang pertama kalinya seorang an...