Ibu menanak nasi sebelum pagi. Menyiapkan meja makan saat masih petang, dan membangunkan putrinya yang begadang semalaman. Ia duduk di kursi reyot yang pernah menjadi alat banting bapaknya yang sudah meninggal delapan tahun lalu. Aku mengintip dari sela jendela rumahnya; yang banyak debu dan bau sarang laba-laba.
Ia menyenduk nasi dengan tangan kanan. Kata buyutku, tangan kanan itu tangan yang baik. Tapi tidak. Ia tidak menyuapkan pada mulutnya sendiri, melainkan pada kursi di depannya yang kosong. Aku tidak mengerti, kemana putrinya pergi?
Piring kemudian dilemparkan dengan keras. Aku menutup mulut dan menahan napas. Ia membuat mejanya berantakan tak karuan. Persis seperti keadaan rumahku dua hari lalu. Sebuah suara datang, "ibu.. kenapa engkau tidak bisa mengikhlaskanku?" Lalu datang lagi dari arah yang berbeda. "Istriku... kenapa engkau tidak bisa mengikhlaskanku?" Aku tidak mengerti.
Aku berlari. Tanah yang kupijak bicara dengan suara lemah. Ia mengatakan bahwa rumah yang kutuju sama buruknya dengan rumah yang baru saja aku tinggalkan. Aku tidak mengerti, lantas kemana aku harus pergi? Rumah siapa yang harus aku datangi? Atau, aku harus iri pada burung-burung yang bisa berpindah-pindah rumah tanpa takut tercekik pajak tanah. Atau, aku harus iri pada paus di lautan yang punya laut sebagai rumahnya. Atau, aku harus iri kepadamu yang punya rumah namun tak pernah mau berbetah-betah?
---
301020
p a r a d e j i n g g aPs : saya nulis ini sudah lama, cuma tadi pas ngedit sambil dengerin lagu di atas. Beuh, suara bang Roni memang mantep. Selamat mendengar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala yang Kehilangan Rambut
PoetryPROSA | ❛❛ Bapak tua itu terkantuk-kantuk di pojok ruangan. Tak punya selera makan, katanya. Aku mengubur sapi hidup di tengah halaman, bapak tua itu menegur. Aku bisa kena kutukan jika aku melanjutkan. Tapi sapi itu meminta surga padaku sedangkan a...