13 | Rumah Kerdus

176 45 2
                                    

Ia sedang menggendong sepeda dalam punggungnya yang ringkih dan kaosnya yang kusut dan bau. Uang dalam saku celananya tumbuh menjadi nasi dan seplastik teh hangat yang dibeli di warung ibu berambut keriwil. Ia bilang hari ini ia makan dengan prekedel tempe dan sayur nangka, seumur-umur, ini adalah pertama kalinya ia makan seenak itu.

Aspal yang ia pijak tertawa sebab kakinya terluka dan berdarah. Sepasang sandal lusuhnya tertinggal saat ia berlari dari kejaran warga karena ia dagang roda di depan ruko. Ia sampai pada rumah kerdus di bantaran kali; ada anak kecil sedang menunggunya di sana. Aku yakin, jika kau membawa kekasihmu kemari, kekasihmu akan menolak dan meninggalkanmu segera. Sebab kau tahu, tempat ini bau dan kumuh. Kotor sana sini.

Aku melihat bangsa burung terbang di atas rumah kerdus itu, menari-nari di sana. Ia dan anak kecil tadi bermain menunggang burung menuju awan. Mereka meninggalkan rumah kerdus beserta diriku. Barulah aku tahu, ternyata mereka anak-anak surga. Sama sekali bukan anak kumuh yatim piatu yang tinggal di bantaran kali.

---
151220
p a r a d e j i n g g a

Bukan Kepala yang Kehilangan RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang