Halaman rumahku adalah telaga darah berwarna ungu. Baunya seperti ingatan masa lalu yang kau coba kubur secara tragis dan tanpa penghormatan terakhir. Apalagi siraman air suci dan bunga melati yang ditabur dari kanan ke kiri tanpa henti. Isinya rumput yang tingginya menyentuh awan seperti gedung-gedung tinggi yang ada di kotamu. Serangga-serangga mengadakan reuni untuk mengenang mereka yang sudah pergi. Seperti cicak yang masuk ke dalam secangkir kopi yang warnanya hijau karena terlalu lama didiamkan.
Saat sore tiba, halamanku memelukku dengan sayang yang panjang. Ia mengajakku terbang dengan berdiri sambil memejamkan mata dan mengangkat tangan di udara. Aku melihat tangga yang isinya gurita raksasa merangkak. Mereka melekat bak dosa-dosa manusia pada raganya yang tidak mau minta ampun pada penciptanya. Halamanku menuntunku menaiki tangga, namun gurita bilang ini belum saatnya. Aku pulang lagi dan tidak jadi naik.
---
211020
p a r a d e j i n g g a
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala yang Kehilangan Rambut
PoetryPROSA | ❛❛ Bapak tua itu terkantuk-kantuk di pojok ruangan. Tak punya selera makan, katanya. Aku mengubur sapi hidup di tengah halaman, bapak tua itu menegur. Aku bisa kena kutukan jika aku melanjutkan. Tapi sapi itu meminta surga padaku sedangkan a...