17 | Akur yang Terlilit

181 40 2
                                    

Ada yang masih terjaga di balik kata; sudah.

Melewati persimpangan dengan perapian di samping kanan dan kiri kelak menjadi nuansa bak karpet merah yang digelar seperti cerita-cerita dongeng bocah-bocah yang selalu bisa tertawa tanpa takut tersedak air matanya sendiri. Tanpa takut dengan waktu yang akan datang dan bertamu mengetuk setiap pintu tanpa pesan kedatangan yang dikirim lewat tanah yang basah dengan genangan yang menjadi cermin di mata-matamu.

Ia terdiam di jemari daun-daun pepaya yang melupa. Yang manfaatnya telah senyap dan lenyap menjadi batang yang setiap waktu tumbuh semakin kecil. Malang, sungguh malang derita yang ia emban di pucuk daun yang hampir kehilangan dayanya, ingin ia tuangkan; tapi pada siapa? Siapa yang sudi mengurai keterlilitan ini?

Langkahnya menjelma gempa pada degup jantungnya sendiri, berseteru, bertengkar, berseberangan. Kata akur menjadi asing di pendengaran seluruh penghuni bumi. Egosentris mendarah daging, melilit dan mencekik seolah haram untuk sisi prihatin mengudara. Mengatur, melantur, meluntur, tanpa pernah benar-benar membaur.

Sejalan sewaktu, terus berulang, tanpa diberi ruang.

---
261220
p a r a d e j i n g g a

Bukan Kepala yang Kehilangan RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang