18 | Perpustakaan Kota

200 37 6
                                    

Aku sedang duduk di perpustakaan yang cukup terkenal di kotaku. Kau tahu? Bukan alasan terkenal itu yang membuatku ada di sini. Tapi, karena ikan dalam ember di sumur belakang rumah memberitahu kalau dalam perpustakaan besar itu, ada ribuan, atau bahkan jutaan aksara yang sudah tertidur berabad-abad lamanya.

Tapi setelah aku berada di sini, ada yang lebih kuat dengkurannya dibanding aksara-aksara yang tertidur pulas itu. Kau tahu apa? Iya. Para penyair yang tertidur di setiap huruf sajak-sajaknya. Mereka mendengkur keras sekali. Penjaga perpustakaan yang sudah lanjut usia itu sampai ber-ssst-ssst-ssst hampir setiap menit. Ingin sekali aku katakan padanya, "Nyonya, yang berisik bukan kami, tetapi mereka."

Langkah membawa aku ke benda kotak yang menjulang tinggi. Ada banyak sekali buku, jika dilihat dari kejauhan, maka benda kotak ini seperti deretan gigi yang ompong. Di sana kosong, di sini terisi, di sana kosong dua, di sini isi tiga. Kemudian aku mengambil satu buku yang tidak terlalu tebal, tidak juga terlalu tipis. Ah, sehimpun puisi lama milik sang legenda, rupanya. Sudut bibirku terangkat, rongga dadaku menghangat.

Aku duduk kembali di kursi yang sama. Petugas itu masih saja ber-ssst-ssst-ssst ria. Kubuka halaman pertama, di sana, kalimat-kalimat itu, huruf-huruf itu, di antara spasi yang ada ... menguar aroma entah apa namanya yang membuatku melayang. Akar tetumbuhan menghambur keluar dari huruf-huruf itu. Adalah sungai mengalir yang membuat buku-buku berenang. Ikan dalam ember di sumur belakang rumah datang bersama kawan-kawannya menggunakan taksi. Benda yang menjulang tinggi menjadi seperti kapal yang terombang-ambing di tengah laut lepas yang sering kau kunjungi ketika sore tiba. Aku naik ke atas jendela. Melihat semuanya dari sini, buku puisi milik sang legenda kuletakkan di atas kepala, tumbuhlah ia menjadi pohon jambu di atas rambutku. Lihatlah! Petugas perpustakaan lanjut usia itu sekarang sudah memakai baju renang yang melekat di tubuhnya. Oh ibu, haruskah aku tertawa sekarang?

Lalu, entah datang dari mana, matahari bertamu dan memamerkan sinarnya dalam ruangan itu. Indah sekali. Awan-awan bergerumul memenuhi langit-langit, pohon jambu di atas kepalaku? Tumbuh lebat sekali! Aku mengayunkan kakiku ke bawah, di sana aliran sungai yang tenang membuat telapak kakiku terbuai.

Aku terus tersenyum, mengayunkan kaki, menyapa angsa yang hinggap di atas kepalaku, menikmati udara dan hangatnya sinar surya, menatap awan yang putih kebiruan. Sembari meyakinkan diriku sendiri bahwa aku benar-benar ada di sini. Bahwa aku benar-benar ada.

---
5121
p a r a d e j i n g g a

Bukan Kepala yang Kehilangan RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang