15 | Kapal Kertas

195 46 4
                                    

Lipatan kertas dengan ujung-ujung yang mulai menguning itu bicara dengan suara pelan.

"Nona, boleh kutanyakan sesuatu?"

Aku, yang sedang bermain catur dengan cacing bermahkota bunga, menoleh pelan. Untuk kemudian tersenyum dan mengangguk, kukatakan pada cacing bermahkota bunga itu untuk menuggu sebentar. Cacing bermahkota bunga mengangguk dan dia minta izin pulang ke rumahnya dahulu karena ia ingin buang air kecil.

Aku mendekat dan duduk di samping lipatan kertas itu, menyentuh pelan permukaannya, menunggu apa yang ingin ia tanyakan padaku.

"Nona, tangismu sudah sederas apa di balik lapis tembok majas?"

Aku menjauhkan jariku darinya, jantungku berdegup kencang, kepalaku terasa begitu pening.

"Nona, lukamu masih sengilu apa sampai puisimu gagal melucu?"

Seperti anak kecil yang merindukan ibunya, aku ingin marah dan menangis sekuat mereka. Dengan tangan gemetar, aku lipat kertas itu menjadi origami berbentuk Kapal Terbang. Dengan ujung-ujung yang mulai menguning, dengan semilir angin sore yang membuat jiwaku seperti terbang jauh. Aku menerbangkan lipatan kertas itu dengan harapan, aku tidak pernah mendengar pertanyaan seperti itu lagi. Agar tidak ada yang berani bertanya seperti itu lagi.

"Permainannya dilanjut tidak, Nona?"

"Biarkan aku menangis dulu. Kau pulang saja. Besok tidak perlu datang lagi."

Kataku dengan suara gemetar, cacing itu, cacing itu ikut menangis. Ia duduk di sampingku, merangkul pundakku seraya memakaikan mahkota bunga di kepalaku. Aku menatapnya bingung, namun cacing itu tetap tersenyum dalam isaknya. Merangkul pundakku lebih erat.

Angin sore seakan membuat jantungku semakin sesak saat Kapal Kertas yang aku terbangkan, kembali lagi dan jatuh tepat di pangkuanku. Aku berteriak padanya mengapa ia kembali lagi, tapi Kapal Kertas itu diam saja. Aku bertanya pada cacing yang sekarang sudah tidak memakai mahkota bunga lagi. Cacing itu mengelus kepalaku, menjawab pertanyaanku dengan suara maha-maha logis.

"Nona, Kapal Kertas tidak bisa bicara. Kau, tidak boleh terpaku pada apa-apa yang tidak mengerti bahasamu. Ayo, lebih baik kita lanjutkan permainan yang belum selesai. Biarkan saja Kapal Kertas itu terbang lagi bersama angin."

Aku dan cacing kembali duduk dan bermain catur. Bagaikan dua makhluk yang paling bahagia, kami melupakan suara-suara yang seharusnya memang tidak ada. Perbedaannya adalah, cacing itu sudah tidak memakai mahkota bunga lagi. Mahkota bunga itu ada di atas kepalaku, menjadi sejuk untuk panas yang selalu aku rasa ketika teringat pertanyaan dari lipatan kertas itu.

---
201220
p a r a d e j i n g g a

Bukan Kepala yang Kehilangan RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang