Ada lilin di atas meja. Kau duduk bersila menatapnya, dengan bunga teratai yang kau petik selepas pulang dari museum kuno di belakang ruko yang tidak jauh dari rumahmu. Kipas angin berputar di atas kepalamu, membuat nyala lilin berlarian ke tempat-tempat yang jauh. Ke negeri-negeri asing yang kau tahu jalanannya tidak semudah jalanan dalam kolong tempat tidurmu. Rambutmu berterbangan, pagi ini, malam ini, besok, atau kapan pun kau mencoba memungutnya, kau kehabisan tenaga.
Sehelai bulu burung merpati terbang dan jatuh di bahumu. Ia berdiri dengan gagahnya seolah bahumu adalah bangunan yang terbuat dari material kokoh yang mustahil roboh.
Hari ini, sehelai bulu burung merpati datang bersama kawannya. Mereka mengitari nyala lilin yang sama denganmu, menatapnya melalui mata-matamu, menjaganya dengan bunga teratai yang sama seperti milikmu. Mereka membantumu memungut rambut, menyimpan surga dalam laci meja, dan membangun rumah sakit di atas bahumu. Mereka mencari ruang dalam ruas-ruas hatimu. Membuat rambu-rambu di jalanan negeri asing. Memadamkan api yang berkobar di jemari kelingkingmu, mereka setia menemanimu di atas meja itu. Di waktu yang kesekian, mereka duduk di kelopak matamu, membuatmu terpejam barang sebentar. Bermimpi. Berterima kasih. Bernafas. Hidup.
Lalu, mereka bersuara dalam heningnya. Di atas meja, melangitkan mantra kebaikan untukmu.
*Didedikasikan untuk menulismati Hei, selamat hari kelahiran! (aduh, iya, absurd betul tulisanku ini wkwk)
-12 Januari, 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kepala yang Kehilangan Rambut
PoesíaPROSA | ❛❛ Bapak tua itu terkantuk-kantuk di pojok ruangan. Tak punya selera makan, katanya. Aku mengubur sapi hidup di tengah halaman, bapak tua itu menegur. Aku bisa kena kutukan jika aku melanjutkan. Tapi sapi itu meminta surga padaku sedangkan a...