Wina duduk termenung di meja kasir memandangi meja dan kursi yang kini telah di susun rapi. Beberapa menit yang lalu tidak ada lagi yanga datang memesan makanan atau minuman. Wina melirik jam, sudah pukul 22.00 wib. Hari-hari biasa, jam segitu mereka sudah tutup kecuali malam Minggu, mereka buka sampai jam 24.00 wib.
Ima, Ana dan Toto, yang selama ini membantunya mengelola restoran kecil-kecilan ini sudah pulang. Wina beranjak mengunci pintu pagar sementara gerimis mulai turun perlahan. Di jalan, masih ada satu dua kendaraan yang melintas. Angin mulai bertiup menggoyang dedaunan membuat Wina kedinginan. Di seberang jalan, di bawah pohon besar seorang lekaki tinggi tegap, berjaket dan memakai topi menatap lurus ke depan, ke arah Wina. Tiba-tiba Wina merasa cemas. Jangan-jangan perampok yang sedang mengamati sasarannya. Cepat Wina masuk dan memeriksa kembali semua pintu dan jendela. Sebelum tidur, Wina masih menyempatkan melihat dari balik jendela, ke tempat lelaki tadi tetapi ia sudah tidak ada di sana. Malam itu Wina tidak bisa tidur nyenyak. Di rumah mereka hanya bertiga dan semuanya perempuan. Wina tidak tahu jika terjadi sesuatu, siapa yang akan membantunya. Berapa kali Wina terbangun jika mendengar suara gaduh yang ternyata setelah di cek, hanya kucing yang mungkin sedang berburu tikus. Ketika jarum jam berdentang empat kali, Wina sudah tidak bisa memejamkan mata dan terpaksa bangun. Sebentar lagi ia ke pasar, kemudian menyiapkan perlengkapan sekolah Jessy dan membuat sarapan.
Di pasar, Wina gelisah, seperti ada orang yang membuntutinya. Tetapi Wina berusaha bersikap tenang. Di taksi, saat balik ke rumah, Wina masih resah. Sebentar-sebentar ia menengok ke belakang dan membuat sopir taksi bingung dengan sikapnya.
"Ada apa Bu? Apa ada orang yang membuntuti Ibu?" tanyanya.
"Oh, nggak ada kok Pak."
Wina berusaha menyembunyikan kerisauannya. Selintas terbesit di pikirannya, mungkin masih ada yang ingin menagih utang yang di tinggalkan papanya. Tetapi bukankah semua utang tersebut sudah dilunasinya? Apa mungkin Om Toni menyuruh orang menagih utang padanya? Om Toni memang turut membantu melunasi utang papanya, tetapi beliau tidak menganggap itu sebagai pinjaman, benar-benar bantuan tanpa pamrih. Walaupun Wina telah berjanji akan mengembalikan dan ibunya pun telah setuju. Jadi tidak mungkin orang itu suruhan Om Toni. Lalu siapa?
Di dapur restoran, Wina masih terus memikirkan hal itu, sementara satu per satu pelanggannya mulai berdatangan. Ada yang sekadar memesan kopi sambil ngobrol, ada juga yang datang untuk sarapan.
"Bu, ada yang mau ketemu."
"Siapa Ana? Laki atau perempuan?"
"Laki-laki Bu."
"Tolong ini diselesaikan ya An."
"Baik Bu."
Wina berjalan ke depan., tempat tamu restorannya mulai menikmati hidangannya. Selama ini Wina sesekali menyapa pelanggannya, ia lebih banyak berkutat di dapur dan urusan melayani ia menyerahkan sepenuhnya ke Ima dan Ana. Ketika tiba di depan, sosok pria yang ingin menemuinya berdiri dari tempat duduknya. Wina terkejut. Bukankah pria ini yang semalam berdiri di bawah pohon seberang jalan? Wina hapal betul topi dan jaketnya. Saat pria itu membuka topinya, lagi-lagi Wina terkejut.
"Wina, apa kabar?"
"Asyer?!" Kamu? Mau apa kamu ke sini?!"
Keterkejutan Wina sudah hilang, berganti dengan amarah namun harus diredamnya. Bahaya jika ia menarik kursi dan melemparkannya ke arah Asyer, bisa bubar tamu restorannya.
"Wina, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan."
Wina berusaha mengumpulkan kesabarannya. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, kemudian duduk di depan Asyer. Matanya menatap Asyer dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyambung Tali Kasih (complete)
RomanceTulisan ini salah satu winner di Wattpadindo Writing Challenge 2020. ~*~ Berjuang mengangkat kembali derajat keluarga yang terpuruk, akibat utang yang ditinggalkan oleh ayahnya, juga harus kehilangan Wilma, kakaknya yang meninggal setelah melahirka...