Ali memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri dan sesak. Pikirannya selalu bertanya-tanya tentang hal ini. Mengapa tubuhnya terasa lunglai dan sulit untuk digerakan? Bahkan untuk berjalan saja rasanya berat sekali. Tubuhnya seolah mati rasa.
Sebisa mungkin, Ali berusaha menyetabilkan tenaganya kembali. Mengumpulkannya meski susah payah. Di saat-saat seperti ini, pikiran Ali berkelana pada tubuhnya yang terbaring di rumah sakit.
"Woy, tong?! Ngapa lo?!" Hantu Kakek gayung yang akan melintas dengan sepeda bututnya itu berhenti dan bertanya saat mendapati Ali yang tampak kesakitan.
"Kakek centong ... tolong anterin saya ke rumah sakit," pinta Ali di sela rintihan tertahannya.
"Tapi—"
"Nggak ada tapi-tapi'an, Kek!" Ali menyergah tanpa beralih sedikitpun dari wajah Kakek gayung tersebut.
"Iya, atau saya cium?" lanjut Ali tanpa berpikir lebih dulu sebelum mengancam. Otak Ali ikut melemah gaes.
"Yaudah cium aja nggak papa." Tanpa diduga Kakek gayung itu justru menanggapinya dengan enteng.
"Woy, lah, Kek! Saya lagi sakit malah diajak bercanda! Nggak lucu kalau tiba-tiba saya mati di sini sambil nyengir."
"Kan elo yang mulai, tong. Kenapa gue yang disalahin?"
"Ya karena Kakek nggak benar makanya disalahin." Ali balas mengamuk lalu kemudian kembali merintih.
Kakek gayung yang melihat kejadian tersebut melalui gerak tubuh Ali pun langsung mempersilahkan hantu itu naik ke boncengan sepedanya. Ia menyuruh Ali untuk memeluk pinggangnya agar tidak terjatuh dan terus menggoes tanpa kenal lelah.
Biarpun bangkotan, ototnya masih sekuat baja dan tulangnya seperti terbuat dari besi. Tempur di atas ranjang pun ia masih bisa menyanggupi.
"Gayungnya mana, Kek?" tanya Ali penasaran.
"Dipinjem tetangga buat mandi," jawabnya.
Ali mengangguk saja lalu memfokuskan diri pada jalanan yang mulai terlewati.
"Kek? Ini jalur ke rumah sakit mana?" tanya Ali saat jalur yang dilewati Kakek gayung itu tak seperti jalur yang pernah ditunjukkan Juliet dulu.
"Rumah sakit bersalin, tong."
Ali membelalakkan mata dan memukul bahu Kakek gayung dengan pelan akibat sisa tenaganya menipis. Andai tenaganya ada seperti semula, Ali pastikan jika Kakek ini sudah berada di pendopo persetanan.
"Saya nggak hamil, Kekot!" Damprat Ali saking kesalnya.
Kekot a.k.a Kakek Bangkot.
"Iya tahu," jawab Kakek gayung itu.
"Terus kenapa lewat sini, anjim?!"
"Kan jalan-jalan dulu."
"YA ALLAH, KAKEK BANGKOT! GUE LAGI MENDERITA GINI MASIH SEMPET-SEMPETNYA LO AJAK JALAN-JALAN?! Asu-asu!" Ali menyumpah serapahi hantu Kakek-kakek itu yang demi apa pun sangat menjengkelkan.
Kemudian Ali kembali merasakan nyeri hebat di ulu hatinya. Rintihannya pun bahkan kian terdengar. Alhasil Kakek gayung itu memutar balik arah menuju Rumah Sakit Sejahtera seperti yang baru saja ditunjuk langsung oleh Ali.
Sesampainya di rumah sakit, tanpa berterima kasih Ali langsung berlari masuk menuju kamar tempat tubuhnya dirawat.
Ali cukup tertegun begitu melihat seorang wanita setengah baya yang menangis histeris ketika dokter dan suster memasuki ruang di mana tubuhnya berada. Sadar bahwa dirinya tak bisa dilihat, ia pun ikut masuk untuk mendengarkan hal penting yang sepertinya menyangkut pautkan dirinya.
"Keadaan saudara Ali Refaldi sama sekali tidak ada perkembangan selama satu tahun lamanya mengalami koma, Bu. Alat bantu rumah sakit juga seakan tidak berefek apa pun pada beliau."
"Apa begini tugas seorang Dokter?" tanya wanita itu, sinis.
"APA BEGINI CARANYA DOKTER MENANGANI PASIEN?! APA ANDA SAMA SEKALI TIDAK MEMIKIRKAN PASIEN YANG SEDANG BERUSAHA BERTARUH ANTARA HIDUP DAN MATI?!" Wanita itu mengamuk dan menangis histeris.
"MENCABUT ALAT BANTUNYA SAMA SAJA SEPERTI KALIAN MEMBUNUH ORANG YANG LEMAH!" Wanita itu kemudian menyingkirkan papan yang tertempel sebuah kertas pernyataan. "Sampai kapan pun saya tidak akan menandatangi surat ini. Karena saya yakin ...," Wanita itu melirik tubuh Ali, "Ali masih diberi kesempatan untuk hidup," lanjutnya.
Dokter dan kedua suster yang bertugas itu saling memandang satu sama lain. Sebelum akhirnya mereka mengangguk, menerima keputusan wanita itu.
Alat bantu pernapasan yang semula dilepas dari hidung dan mulut raga Ali, kini dipasangkan lagi oleh mereka.
Perlahan, dada Ali yang terasa nyeri dan sesak berangsur membaik. Hantu itu menatap penuh arti pada wanita itu yang kembali menangis. Lalu kemudian matanya bergerak pada notes yang masih setia terikat dan berada di atas nakas samping ranjangnya.
𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢
Narlena, nama wanita yang berhasil menyelamatkan Ali. Ali mengetahui namanya saat wanita itu dipanggil oleh salah satu suster.
Setelah beberapa jam lamanya ia menunggui raga Ali yang masih setia memejamkam mata. Kini Narlena kembali ke rumah setelah meninggalkan Ali dengan berat hati. Ali sejak awal memang tak lepas mengikuti wanita itu.
Dilihatnya rumah yang menjulang tinggi walau tidak terlalu mewah dan besar itu, Ali terdiam seribu bahasa. Memori-memori diingatannya bermunculan walau tidak terlalu jelas.
Pertama, Ali melihat dirinya memakai seragam SMA Tunggal Cermat. Ia turun dari tangga dan menyapa Narlena serta seorang gadis yang memakai seragam sama sepertinya. Gadis itu tampak blur diingatan Ali sehingga ia sulit menebak siapa.
Ingatan selanjutnya pun tentang kebersamaan Ali dengan gadis itu lagi. Ali tampak tertawa lepas dan begitu semangat menjahili gadis itu. Tempatnya adalah ... di halaman rumah ini.
Ali mengedarkan atensinya. Rupanya Narlena sudah memasuki rumah ini. Ali turut menyusul dari belakang.
Di dalam rumah ini, terlihat begitu luas dan bersih. Hanya saja ... terasa sepi. Bahkan Ali sama sekali tidak menemukan orang lain selain Narlena di setiap sudut rumah.
"Kamar ini ... kamar gue?" gumam Ali begitu langkahnya terhenti pada salah satu kamar yang bernuansa hitam putih. Seulas senyum tersungging dari bibirnya. Rasa haru menyelimuti perasaannya. Ali rindu menjadi manusia.
Cukup lama terdiam. Ali kembali menjelajahi isi kamarnya. Melihat beberapa koleksi yang dia punya terutama poster spongebob dan upin-ipin yang menjadi pelengkap di dinding polos ini. Ali memang menyukainya tanpa peduli umur.
Telinga Ali bergerak. Samar-samar ia mendengar suara isak tangis yang berada tak jauh dari tempatnya. Namun, bukan di kamar ini.
Alhasil untuk dapat memastikan di mana suara itu berasal, Ali melangkah keluar kamar dan mencarinya. Tepat di samping kamarnya, ternyata ada sebuah kamar. Di situlah suaranya berasal. Dan ... di mana ada seorang gadis yang Ali temukan dalam ingatannya tengah menangis sambil menatap jendela. Sepertinya ia menyadari kehadiran Ali, jadi ia menoleh. Gadis itu menatap Ali dalam diam, kemudian tersenyum.
Hanya sekilas.
Sebelum gadis itu menghilang bagai kabut asap.
Apa Ali berhalusinasi?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗜𝗻𝗱𝗶𝗴𝗼 𝗞𝗲𝗿𝗲𝗻 : 𝗜 ✔
Humor𝐒𝐞𝐛𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐫𝐭 𝐝𝐢𝐩𝐫𝐢𝐯𝐚𝐭, 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚. #ODOCTheWWG #SujuX (Juara #2 ODOC TheWWG SujuX) #Rank 1 On Remaja (06-11-21) [Cerita ini merupakan cerita fiktif dari penulis. Latar, budaya, dll tidak...