15 : Dikacangin

5.8K 1.3K 96
                                    

Ibaratnya baru mendapat rejeki nomplok, mata lelaki itu berbinar sambil bersiap mendatangi kelas gadis penyendiri yang sikapnya begitu unik dan jarang-jarang ditemukan. Tatapan tajam namun meneduhkan itu bisa membuat siapa saja tenggelam. Termasuk lelaki ini, Evan Denis Baswenda. Selalu mengejar Pita meski gadis itu selalu frontal apabila menolak segala tawaran atau hal-hal modus yang ia lakukan.

Ketika kelas sudah mulai sepi oleh penghuni yang berlalu lalang untuk pulang, guru yang mengajar pelajaran terakhir itu menatap Pita yang masih sibuk mencatat tulisan di papan. Ia menggeleng tak habis pikir. Tetapi kemudian berpamit pada Pita untuk kenbali ke ruang guru dan menyampaikan pesan padanya untuk segera pulang jika selesai mencatat. Tentunya Pita merespon ramah guru itu.

Jika bukan karena gangguan-gangguan makhluk gabut, Pita mungkin sudah selesai mencatat lebih awal.

Decitan kursi terdengar dari samping tempat Pita duduk. Evan datang dan langsung melempar senyum padanya. Evan sedikit memeringkan kepala dan menopang dagu agar bisa menatap gadis itu dari samping.

"Kayaknya lo bandel juga, ya, aslinya," celetuk Evan di tengah keheningan. Pita melirik sekilas dengan ekor matanya.

"Bandel pala lo!" balas Pita tersungut. Nasib... nasib... selalu saja hidup Pita penuh gangguan. Jika bukan karena hantu-hantu not have akhlak, pasti saja penggantinya adalah manusia satu ini.

"Mau gue bantu nulis nggak?"

Pita langsung menarik bukunya saat Evan akan mengambilnya. Pita memicing menatap Evan penuh selidik.

"Tulisan lo jelek." Tiga kata, namun berhasil merusak repotasi Evan.

Bibir lelaki itu sontak mengerucut dan menegapkan duduknya. Ia memang tidak seberniat itu untuk membantu Pita karena sadar diri akan tulisannya yang kalah dengan anak SD jaman sekarang. Tapi wajarlah! Namanya juga berusaha menarik perhatian.

Gadis-gadis lain jika ditawarkan mungkin akan menjawab, "Nggak usah! Gue bisa sendiri." Atau semisal lebih parahnya lagi mungkin, "Tumben baik? Pasti ada maunya."

Tetapi ini?

Langsung savage bukan main.

Akhirnya setelah dibuat kicep, Evan memilih diam mengamati. Lalu tak lama kemudian Pita selesai pada aktivitasnya. Gadis itu segera membereskan alat-alat sekolahnya dan beranjak meninggalkan kelas. Evan berlari dan menghadang gadis itu sambil menyengir.

"Pulang bareng, oke? Kali ini lo nggak boleh nolak," kata Evan lalu menarik lengan Pita dan menggantungkannya di lengannya.

Sampai di parkiran, Pita hanya bisa mematung entah mengapa. Memperhatikan Evan yang sedang mengambil motornya yang terparkir dan membiarkan lelaki itu menghampirinya.

"Mau naik sendiri atau gue naikin?" tawar Evan.

Pita membelalak dan menoyor kepala Evan.

"Gue benci sama pemikiran gue jadinya."

"Itu berarti lo udah dewasa."

"Siapa bilang gue masih kecil?" Pita mendadak sewot.

"Kan nggak ada. Kenapa nanya?"

Pita mengibaskan tangan menyuruh Evan untuk tidak memperpanjang lagi obrolan unfaedah seperti itu.

Selepas Pita berhasil naik di motornya, Evan pun langsung menancap gas menuju rumah Pita sambil dipandu oleh gadis itu. Beberapa menit berlalu sampailah mereka di rumah Pita yang tampak asri.

"Makasih atas tumpangannya. Besok-besok gue bakal nolak lagi. Jadi nggak usah ngajak pulang bareng apalagi sambil ngancem! Inget! Biar nggak usah gue ulangin," pinta Pita sambil menatap tajam. Tapi bagi Evan itu terlihat lucu.

"Tunggu, Pit!" tahan Evan ketika gadis itu akan memasuki rumah. Pita berbalik memandangnya. Evan tersenyum. "Buruan ganti baju! Gue mau ngajak lo jalan-jalan. Soal orangtua lo, nanti gue yang minta ijin."

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi minum es cekrek.

Ali tersenyum ceria sambil memandang fotonya—ralat! Lebih tepatnya lagi adalah wajahnya yang tidak terlalu jelek-jelek amat. Cukup bersyukur. Setidaknya ia tidak akan memalukan Pita apabila mereka berdua dicomblangkan pada akhirnya.

Lalu senyumannya luntur saat sebuah motor baru-baru ini melewatinya. Ali menatap saksama. Sampai ia sadar siapa gadis yang berada di boncengan motor itu barulah ia berteriak memanggil.

"WOY, PITA! BALIK NGGAK LO!" teriaknya. Tetapi Pita sudah semakin jauh bersama lelaki yang entah siapa.

Tak mau kehilangan jejak begitu saja, Ali mulai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan segera menghambiskan es-nya. Kemudian ia berlari mengejar motor tersebut. Bengek sudah pernapasan Ali saat mencapai beberapa meter berlari. Tetapi bersyukur karena usahanya tidak gagal. Ia berhasil menemukan keberadaan mereka berdua di toko aksesoris.

"Astaga, tuh, anak bengal amat disuruh jangan deket-deket sama cowok itu juga." Ali mengacak rambutnya sambil menatap lirih pada Pita.

Ali menyusul gadis itu yang baru saja diperintahkan Evan untuk memilih gelang pasangan dan mencolek bahunya.

Pita menoleh dan hampir saja mengumpat ksrena kaget. Ali memang ahlinya mengekori. Buktinya saja ia berhasil mengikuti Pita tanpa sepengetahuan gadis itu sama sekali.

"Lo kenapa pergi sama dia?" tanya Ali menginterogasi.

Pita tak menanggapi. Ia masih sibuk memilih beberapa gelang dan sesekali menanggapi Evan yang bertanya.

"Lo mending pulang! Nyapu, ngepel, cuci baju, cuci piring, tidur, nonton tipi, atau apa, kek! Nggak usah sok-sok'an ke sini! Lo miskin." Ali masih terus bersuara meski Pita tak memasang telinga.

"Pit? Mending nggak usah, deh, gelangnya!" Evan yang tadi mebghilang kini muncul lagi dan memberi perintah.

"Kenapa?" tanya Pita. Singkat dan padat. Wajahnya saja bahkan datar tanpa ekspresi seperti biasanya. Kalau boleh jujur, gadis itu memang sangat bosan.

"Gue liat jam tangan couple. Bagus. Mumpung ada promo makanya kita berdua harus beli!"

"Emang kita pasangan?" tanya Pita.

"Bentar lagi."

Ali meniup poni rambutnya dengan kesal. Untuk pertama kalinya Pita tak mengacuhkannya hanya karena lelaki lain. Dan baru kali ini juga Ali merasakan perasaan aneh di benaknya.

"Pit? Pulang!" Suara Ali kian melemah namun penuh penekanan. Pita menatapnya. Wajah hantu noob itu memerah seolah akan meledakkan sesuatu.

Alih-alih menurut, Evan malah menarik tangan Pita membawanya pergi dari hadapan Ali.

Dari kejauhan Ali masih mengawasi Pita dan Evan. Sepertinya memang tidak ada tanda-tanda Pita akan menurut padanya atau mencarinya. Hingga dua puluh menit terlewati, Ali memilih pergi.

"Gue lebih suka sikap lo yang cuek, ya, Nyai!" umpat Ali sebelum akhirnya menendang kaleng kosong dan berakhir dengan gongongan anjing.

𝗜𝗻𝗱𝗶𝗴𝗼 𝗞𝗲𝗿𝗲𝗻 : 𝗜 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang