21 : Sesak

4.7K 1.2K 84
                                    

"Itu apa?" Pertanyaan dari Ali berhasil mengurungkan niat Pita untung turun dari kamarnya.

"Apa?" tanya Pita, memicingkan matanya mencari sesuatu yang sekiranya memang dipertanyakan oleh Ali. Sampai matanya tertuju pada jam tangan pemberian Evan yang sedang ia pakai.

"Ini?" tanya Pita sambil menunjuk jam tangannya, memastikan.

Ali terdiam. Tidak mengangguk ataupun menggeleng. Tatapannya lurus pada jam di pergelangan tangan Pita. Pita berdeham, mengalihkan fokus Ali hingga hantu itu beralih menatapnya dengan tatapan tengil seperti semula.

"Dari siapa lo?" tanya Ali mengintimidasi.

"Dari ... dari ...." Pita mengedarkan pandangannya guna mendapat hidayah agar bisa menjawab tanpa harus mengaku pada Ali.

"Pita ... kamu nggak berangkat? Ayah udah nunggu di depan, lho." Seka muncul, membuat senyum Pita mekar.

"Nah, itu!"

"Apanya, Pita?" tanya Seka tak mengerti.

Pita menghela napas. Lupa bahwasannya Seka memang tidak bisa melihat keberadaan Ali. Alhasil, Pita pun langsung turun dari kamar meninggalkan Ali yang kini tengah menendang angin meratapi kekesalannya. Kemudian seperti biasa ia mengekori Pita untuk ikut pergi ke sekolah.

"Dari siapa?" Ali kembali bertanya. Ali memang tidak bisa diam saja ketika sudah dibuat penasaran. Apalagi ini menyangkut Pita.

Sejauh ini mereka bersama, yang Ali tahu, Pita adalah tipikal perempuan yang menyukai warna hitam. Jam tangan yang sering dipakai gadis itu pun semulanya selalu warna hitam meski berkali-kaki ganti model. Bukankah terasa aneh jika tiba-tiba gadis itu memakai jam tangan berwarna silver?

"Ini ... dari nyokap gue," jawab Pita sambil terkekeh garing.

"Nyokap lo?" Ali memicingkan matanya dan tersenyum sinis.

Pira mengangguk cepat. "Kemarin dia beliin ini buat gue."

"Warna silver?"

"Iya ... kebetulan gue suka warna silver."

"Jelas-jelas lo suka warna item," sangkal Ali. Ali memiringkan kepalanya, menatap Pita penuh selidik, "yang gue tahu, koleksi lo hampir semua warna item. Jaket sama tas lo aja bahkan warna item, Pit."

"Sok tahu lo! Serba item bukan berarti gue suka warna item."

"Oh, ya? Jadi lo suka silver?

Pita memejamkan matanya, mencoba menetralisir kekesalan yang mulai memporak porandakan perasannya. Ia lantas mengangguk membuat bahu Ali merosot ke tanah. Senyum jahilnya luruh begitu saja. Bertepatan dengan itu, Farhan masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan diri ke jalanan.

"Gue liat jam tangan couple. Bagus. Mumpung ada promo makanya kita harus beli!"

Kalimat itu terngiang di telinga Ali. Memori tentang Evan yang menyeret Pita dari hadapannya sewaktu berada di toko aksesoris masih jelas teringat. Ada kemungkinan besar, bahwa prangsangka Ali memang benar.

Jika jam tangan yang dipakai Pita, adalah pemberian Evan.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Suara gebrakan meja membuat bokong Pita agak terloncat dari kursinya. Pelaku yang membuat delikan tajam lepas dari netra Pita tampak santai hanya dengan terkekeh. Ali rupanya melihat hal itu, jadi mengurungkan niat untuk pergi dari kelas Pita dan memutuskan untuk duduk di samping gadis itu.

Pita melirik Ali yang duduk bersandar sembari bersedekap menatap Evan. Evan tersenyum ke arah Pita. Pita masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Evan meraih tangan Pita tanpa seizin gadis itu, memandangi jam tangan hasil pemberiannya yang melekat di pergelangan tangan gadis itu.

Ali menarik napas dan menahannya agar tak terembus. Pita lagi-lagi melirik hantu itu. Entah mengapa ia merasa cemas sendiri.

"Lo makin cantik pake jam tangan ini," gombal Evan.

Pita akhirnya tersadar dan buru-buru menarik tangannya dari genggaman lelaki itu.

"Gila ya, lo? Nggak usa alay!" ujar Pita, ketus.

"Sori," ucap Evan sambil tersenyum tipis, "tapi ... boleh nggak gue ungkapin satu hal ke elo?"

Ali menaikkan sebelah alisnya, lalu memandang Pita, ikut menunggu tanggapan dari gadis itu selanjutnya. Pita mengangguk, membuat Ali semakin menahan napas dan tak mampu membuangnya.

Evan tersenyum lebar. Tangan kiri yang sedari tadi bersembunyi di balik punggungnya pun mulai ia perlihatkan bersamaan dengan setangkai bunga yang ternyata ikut bersembunyi sejak awal dirinya masuk ke kelas ini.

Disondorkannya bunga itu ke hadapan Pita, Evan lantas berucap, "Gue suka sama lo. Sejak awal gue liat lo ... gue rasa lo unik. Sikap lo yang jaga jarak sama cowok lain termasuk gue, bikin gue yakin kalau lo adalah tipikal cewek setia. Gue suka, cinta, dan sayang sama lo, Pita. Gue mau lo jadi pacar gue...."

Kursi yang diduduki Ali terjatuh cukup keras, lebih tepatnya Ali yang berbuat, dengan cara mendorongnya hingga terjatuh. Hal itu tak luput dari penglihatan Evan. Meski awalnya terkejut karena tanpa angin tanpa hujan kursi tiba-tiba jatuh begitu saja, tetapi melihat Pita yang tak terganggu membuat rasa takutnya terusir.

"Kalau lo belum bisa jawab nggak papa, Pit. Gue siap nunggu, kok. Asal jangan terlalu lama," kata Evan, tersenyum tulus.

"Gu-gue...." Pita mendadak terbata dan sulit menjawab. Untuk pertama kalinya seseorang menyatakan cinta padanya. Dan tentu saja, hal itu membuat tubuhnya bereaksi aneh karena belum terbiasa. Sampai ekor matanya menangkap sosok Ali yang melangkah keluar kelasnya.

𖣴⵿⃜⃟᭢·· · · · ──────── · · · ·𖣴⵿⃜⃟᭢

Ali menendang bebatuan kerikil di sepajang jalan tanpa arah. Rasanya kesal dan sesak ketika Evan memberi pernyataan cinta kepada perempuan yang baru pertama kali ini dicintainya. Hanya kata payah lah yang mampu mendeskripsikan bagaimana Ali sekarang.

Tidak bisa mengungkapkan perasaannya, atau bisa dikatakan terlambat mengetahui perasannya. Apa dengan perasaan seperti ini ia akan tetap tahan dalam zona pertemanan? Aish ... sampai sekarang pun ia tidak yakin bahwa mereka adalah teman.

"GUE SUKA SAMA LO!"

Pekikkan itu membuat Ali terlonjak dan sukses mengedarkan matanya mencari asal suara yang mampu merusak telinga siapa saja. Lalu dirinya menangkap keberadaan genderuwo yang ternyata adalah pemilik suara jelek itu. Hantu pakar cinta yang tengah nongki di atas pohon pisang.

Ali mengumpat. Ia berniat melempari genderuwo dengan beberapa kerikil lantaran tak terima karena pekikkan hantu itu barusan. Di detik-detik hantu itu kewalahan, ia lantas kembali bersuara.

"Gue suka sama lo," kata genderuwo, "apa lo bisa ngerasain ketulusan gue?" lanjutnya. Ali terdiam cukup lama sebelum akhirnya memberi gelengan.

"Nah, makanya! Kalau lo nggak bisa ngungkapin perasaan lo lewat mulut. Setidaknya ungkapin perasaan lo lewat tindakan."

𝗜𝗻𝗱𝗶𝗴𝗼 𝗞𝗲𝗿𝗲𝗻 : 𝗜 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang