Chapter 14

57 10 0
                                    

#Tisa's POV

Kenapa. Kenapa mesti kak Swara. Kenapa kak Swara membuatku berdebar gini. Ngga mungkin kan gua jatuh cinta sama dia. Sadar, Tis, lu jauh dari pantes buat kak Swara. Lagipula kak Swara juga baru putus, dia pasti masih sakit hati.

Aku mencoba memejamkan mataku. Namun sulit. Rana sudah tertidur lelap disebelahku. Aku masih memikirkan kejadian di sepanjang jalan ke toko sampai di dapur tadi. Masalahnya aku tidak pernah dekat dengan lelaki selain Wisa dan baru kali ini aku berdebar seperti ini. Tapi kenapa bukan kak Juna atau Dana? Kenapa kak Swara? Arrgghhh. Udah lupain Tis.

Tett...tettt....
Aku terbangun karna alarmku. Buru2 mematikannya sebelum suara itu membangunkan Rana.
"Hoaamm." Aku menguap. Semalam aku baru bisa tidur pukul 2. Sial.

Aku mencuci mukaku dan menyikat gigiku. Kemudian menuju dapur untuk memasak sarapan. Aku memutuskan membuat gimbap. Pukul 5 kurang aku selesai, masih sempat untuk mandi sebelum membangunkan kak Swara.

Selesai mandi aku memakai baju dan jaketku kemudian menuju kamar kak Swara.

Tok..tok.
Tidak ada jawaban.
Aku mencoba membuka pintunya. Kemarin kak Swara bilang kalau dia tidak mengunci pintu supaya aku mudah membangunkannya.
Aku masuk ke dalam kamarnya.
Kak Swara masih dibawah selimutnya.
"Kak.." aku berbisik.
Dia tidak bergeming.
"Kak bangun. Jadi pergi ngga?"
"Hmmm." Dia hanya menjawab seadanya.
"Kak Swara." Aku menggoyangkan tubuhnya lebih keras. Dia perlahan membuka matanya.
"Siapa?" Dia bertanya. Wajahnya tampak lucu saat bangun tidur.
"Tis-Alya kak." Aku terkekeh. Dia memicingkan mata, lalu terkesiap.
"Eh, Alya. Jam berapa ini? Kesiangan ya?" Dia terduduk.
Aku menggeleng tertawa.
"Masih jam 5 kak. Aku nunggu di luar ya." Aku tertawa.

#Swara's POV
Aku keluar dengan buru2. Alya sedang berdiri memunggungiku, dengan setelan khasnya.

 Alya sedang berdiri memunggungiku, dengan setelan khasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sorry lama." Aku menyapanya. Dia terkejut.
"Enggak kok kak." Dia tersenyum manis. Eh?
"Yuk." Kataku. Dia mengangguk. Kemudian kami berjalan bersama.

Walau musim panas, udara pagi di Hadong cukup dingin karna masih pedesaan.
"Kamu suka banget warna hitam ya?" Aku bertanya membuka percakapan.
"Eh..oh pasti karna setelan aku hitam terus ya?" Dia bertanya. Aku mengangguk.
"Biasanya cewek2 sukanya warna cerah gitu apalagi sekarang musim panas. Biasanya pilih pakaian yang yaa summer vibes gitu kayak Juna." Aku berkata.
"Haha dulu ada sih beberapa baju warna terang. Cuman ya gimana baju aku sedikit dan itu2 aja, ngga punya cukup uang juga buat beli baju terus. Ya aku recycle semua bajuku dengan ngewarnain warna hitam aja. Jadi ngga ketauan kalau bajuku itu2 aja karna ya memang hitam semua." Dia bercerita
"Lagian aku suka warna hitam. Istilahnya kayak baju perangku warna hitam. Dulu aku mikirnya kan hitam biasanya simbol duka dan ya emang setiap hari aku ngerasanya duka terus hahaha kayak berkabung setiap hari. Jadi pas deh." Dia menambahkan sambil tertawa.
"Sedih juga sebenernya filosofis nya." Kataku. Dia menghela nafas.
"Haah. Ya gimana ya kak. Mungkin emang hidup kayak gitu. Orang bilang 'nanti ada masanya kok, pasti semua baik2 aja.' .Ngga bisa. Hidup aku rasanya udah jatuh terjun bebas dari lama. Rasanya udah ngga ketolong lagi. Aku udah ngga bisa berharap banyak gitu sama kehidupan...rasanya takut." Dia diam.
"Ngga papa, Al. Kalau di dunia psikologis. Emm bukannya sok ngasih pelajaran. Tapi emang bener ada masanya manusia di titik kayak kamu. Bingung. Capek. Ngga tahu harus apa. Yang dipikirin cuma satu, bertahan setiap hari. Mungkin aku ngga pernah ngerasain di titik itu, tapi aku ngerti rasanya. Tapi mungkin bener juga akan ada masanya semua baik2 saja." Aku bercerita. Dia menatapku.
"Iya kayak gitu. Ya..mungkin suatu saat." Dia menarik nafas, dan melanjutkan.
"Udah ah, aku dari kemarin bawaannya sedih terus, maaf ya kak Swara jadi liat aku yang sebenernya. Padahal awal2 kenal kak Swara, aku ngga bakal nyangka kalau bisa deket kayak gini. Haha padahal di awal aku udah bilang kan mendingan jaga jarak sama aku."
"Aku heran kamu bilang gitu waktu itu. Padahal ngga ada yang salah sama kamu." Aku menaikan alisku.
"Salah kak. Aku selalu ngehindarin orang salah satunya karna hidupku bermasalah. Semua yang udah terjadi di hidupku, kacau banget hehe. Aku ngga mau orang2 disekitarku kena efeknya gitu, ditambah lagi aku harus kuat ngejalanin hidup yang gini terus menerus. Orang baru kadang ngga bakal langsung paham apa permasalahan orang tapi bisa langsung judge seenaknya. Kayak misal kemarin2 udah nyoba berlaga kuat, tapi langsung tumbang sekalinya kambuh." Dia tertawa sedih.
"Untuk jadi kuat itu butuh waktu Al. Ngga langsung tiba2 kamu kuat ngadepin semuanya. Ngga papa pelan2 aja. Lagian ngga ada yang nyuruh kamu buat berlaga kuat. Kalau memang ngga kuat, banyak yang mau bantu kamu. Sesekali minta tolong itu ngga bakal bikin repot orang2 yang sayang kamu. Mereka juga pasti bakalan dengan senang hati bantuin kamu." Aku berkata. Dia menatapku. Matanya berkaca2.
"Makasih kak. Saya jadi lebih lega kalau cerita ke kak Swara. Cocok kak Swara jadi psikolog. Pasti pasiennya banyak yang terbantu deh." Dia terkekeh.
"Hahaha emmm gatau deh kalau sama pasien lain bisa kayak gini atau ngga ngomongnya." Aku juga bersemu.

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang