Chapter 18

51 9 3
                                    

#Tisa's POV

Ibu menemaniku di Namwon selama 5 hari. Yang lainnya sudah pulang karna harus melanjutkan kuliah. Ibu tidak marah aku mengambil cuti kuliah. Ibu tidak marah atas semua yang kulakukan.

Hari Sabtu, aku dan Ibu pulang ke Seoul, karna luka ku belum sembuh betul kami memutuskan pulang naik pesawat. Ibu bilang jangan pedulikan biaya apapun, karna sekarang yang terpenting adalah kesembuhan dan kesehatanku.

"Welcome Home." Tulisan itu terpampang di pintu masuk rumah.
"Selamat datang." Wisa dan Rana membuka konfeti. Kenapa mereka masih menyambutku seperti ini.
"Ya ampun kalian repot2 gini." Ibu berkata tertawa. Aku hanya tersenyum.
"Lihat kami sudah memasak untukmu." Rana menunjuk ke makanan di meja dimana terdapat Dana yang tersenyum.
"Terimakasih." Aku berbisik sambil tersenyum.

Entah perasaan apa ini. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Perasaan itu masih tetap ada. Perasaan yang tidak bisa ku jelaskan.
Kami banyak mengobrol, bukan kami. Hanya mereka berempat. Aku lebih banyak diam. Mereka tidak mengungkit apapun tentang aku di Hadong atau bagaimana perampokan itu. Mereka tidak memaksaku bercerita, tapi kadang mereka bertanya keadaanku.

"Tisa." Ibu memanggilku setelah kami membereskan rumah dan bersiap tidur karna ternyata hari sudah malam.
"Hmm?" Aku mengangkat alis.
"Sini nak." Ibu menyuruhku duduk di kasur. Aku menurutinya.
"Ibu ngga akan maksa kamu cerita. Kalau kamu butuh bantuan bilang ya nak. Ibu ngga mau kamu nanggung beban semuanya sendiri. Kita hidup di dunia kan sama2. Kehadiran Tisa sangat membantu Ibu di dunia, begitupula Ibu ingin kehadiran ibu berguna buat Tisa bukan malah jadi beban." Ibu menyisir rambutku. Dia menangis. Aku melamun. Gumpalan dalan hatiku terasa kian berat.
"Ini." Ibu menyerahkan sebuah surat.
Aku menatap ibu. Surat itu dari Seoul Conseling Center.
"Surat rekomendasi terapi dan rehabilitasi dari Dokter Jendra. Itu terserah kamu mau kesana atau tidak. Tapi Ibu harap, kamu mencobanya. Ibu merasa bersalah karna tidak bisa membantu apapun." Dia menangis
"Tapi bu-"
"Tisa Ibu mohon sekali ini. Ibu tidak pernah meminta apapun, Ibu hanya ingin kamu sembuh. Ibu yang membuat kamu hidup seperti ini, biarkan Ibu memperbaiki semuanya."
Aku menangis, memeluk Ibu yang menangis.

Hari Senin, pukul 8 pagi.
"Lu ngga papa sendiri?" Wisa bertanya khawatir saat menurunkanku di depan gedung Seoul Counseling Center (SCC). Aku mengangguk.
"Iya ngga papa Wis."
Dia menghela nafas. Mengelus kepalaku.
"Serius Tis. Kali ini kalo ada apa2 beneran hubungin gue atau siapapun. Jangan sendiri." Wisa berkata. Aku mengangguk
"Janji?" Dia mengacungkan jari kelingkingnya. Aku menatap jari itu. Terlalu berat kalau harus berjanji.
"Tis." Wisa memanggilku. Dia tahu raut wajahku. Dia mengurungkan dan menarik tangannya kembali.
"Yaudah gue kampus dulu." Wisa menyalakan motornya dan menjauh. Aku menarik nafas dan memberanikan diriku melangkah. Ibu benar sejak dulu aku memang membutuhkan pertolongan ini, tapi kami tidak punya biaya. Jadi aku lebih suka dengan memendam semuanya, tapi ternyata itu malah makin berdampak buruk pada kesehatan mentalku. Entah aku kesini sekarang sudah terlambat atau belum.

Kakiku berat. Nafasku terasa sesak. Memang kalau aku sudah di dalam, aku bisa berbicara dengan bebas? Bukankah sama saja? Percuma saja. Aku membalikkan badanku.
"Lho, Tisa??Eh sorry2." Aku menubruk seseorang. Wajahku menabrak badannya yang besar. Aku mendongakkan kepalaku.
"Kak Yota?" Aku kebingungan.

"Ngga papa kalau masih belum siap." Kak Yota berkata sambil meminum banana milknya. Aku dan kak Yota jadi mengobrol di luar. Dia menemaniku. Kak Yota sedang magang di SSC, kebetulan sekali.
"Mau gue temenin di dalem?Belom nentuin jadwal appointmentnya kan?baru ngecek awal?" Dia bertanya. Aku mengangguk.
"Yaudah yuk. Gue juga free hari ini. Gue temenin aja nanti gue ajak keliling juga. Lo udah makan?" Dia bertanya. Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengan kak Yota, karna reputasinya yang sampai di telingaku adalah yang jelek2, aku jadi menjaga jarak. Tapi kalau diperhatikan dia mirip kak Juna. Berisik dan moodbooster. Mirip Wisa juga.
"Kalo belum makan nanti gue tunjukin tempat2 makan di sekitar sini. Menurut gue enak sih, ya tapi berhubung lu chef, kyknya masakan lu lebih enak. Ya pokoknya gue traktir sebagai penyambutan disini. Supaya lo betah dateng ke SSC,..eh maksud gue bukan betah. Ya duh gimana ya pokoknya gitu dah." Kak Yota terkekeh salah tingkah. Aku hanya tersenyum.

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang