Chapter 11

61 11 0
                                    

#Tisa's POV

Aku terbangun setelah belum lama tidur. Obat2an yang diberikan kak Swara membuatku mengantuk tapi hanya sesaat. Setelah tidur sebentar aku terbangun kembali. Kepalaku sudah mendingan. Aku keluar kamar dan mendapati kak Juna dan kak Yota tertidur di depan televisi.

Sebenarnya aku baru mengamati apartement kak Swara.

Cukup besar untuk seseorang yang tinggal sendiri karna terdapat 2 kamar tidur yang tiap kamarnya berisi queenbed

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cukup besar untuk seseorang yang tinggal sendiri karna terdapat 2 kamar tidur yang tiap kamarnya berisi queenbed. Satu untuk kak Swara, satu untuk kak Yota. Kak Swara bilang satu dikhususkan untuk kak Yota karna kak Yota sering menginap. Kamar yang ku tempati adalah kamar kak Swara.

Aku berjalan perlahan dari arah kamar melewati ruang tamu dimana terdapat kak Juna dan kak Yota yang tertidur, kemudian aku mendengar gemuruh guntur. Ah mendung. Aku buru2 berlari ke teras balkon. Benar saja, langit gelap, mendung dan sudah malam krn jam sudah menunjukkan pukul 7.30pm. Perlahan rintik hujan turun. Aku memejamkan mataku dan menghirup nafas dalam. Mengisi seluruh paru2 ku dengan bau hujan.

Pikiranku berkelana saat umurku 7 tahun, SD kelas 2.
"Bibiiii, Tisa hujan2an lagi." Wisa mengadukanku pada ibuku.
"Kenapa sihhh, kan ini ungkapan bahagia aku sama Tuhan karna udah menurunkan hujan." Aku tertawa berlarian sambil memakai jas hujanku. Ibuku dan Ibu Wisa hanya terkekeh melihat kami. Saat itu keluargaku dan keluarga Wisa sedang berlibur bersama ke sebuah pedesaan. Tempat itu sangat asri. Aku masih bisa membayangkan baunya dan angin lembutnya.
"Wahaha sudah lama disini ngga turun hujan. Sawah sudah lama kering." Kata paman yang rumahnya dekat penginapan kami. Dia seorang petani.
"Tuhkan, Wis." Aku berkata menarik Wisa.
"Ayooo sini." Aku membentangkan tanganku bersiap menyambut hujan. Tapi tiba2 hidungku menangkap bau yang menenangkan.
"Fuaaaahhhhhh." Aku menarik nafas dalam.
"Ibu ini bau apaaa?" Aku bertanya penasaran.
Ibu mengendus.
"Ibu tidak mencium apa2 nak. Hanya bau masakan di dapur." Dia berkata.
Aku menggeleng.
"Bukan, ibu." Aku berkata kesal dan menghirup bau itu lagi.
"Itu bau yang ditimbulkan ketika hujan jatuh pertama2 ke tanah." Paman itu berkata memakai payung mendekatiku.
"Baunya menenangkan bukan?" Dia bertanya. Aku mengangguk bersemangat.
"Iya ketika aku menghirup dalam2 dan memejamkan mata. Semuanya terasa indah, padahal aku tidak melihat apa2." Aku bercerita bersemangat.
"Petrichor." Dia berkata satu kata itu dan tersenyum.
"Paman harap aroma ini akan selalu membawa kebahagiaan untukmu." Paman itu mengelus kepalaku.
Aku tersenyum lebar.
"Tentu saja. Ini adalah bau yang kusuka nomor satu selain bau masakan ibu."
"Terimakasih ya, nak. Mungkin ini juga berkah karna kamu, berkat doamu hujan turun dan menyirami sawah. Hasil sawahnya tidak jadi rusak karna kekeringan." Paman itu menggendongku.
"Tentu sajaaa, panggil aku si pemanggil hujaan." Kami berdua terkekeh.

#Swara's POV

Hujan. Untung saja sudah mau sampai. Jam menunjukan pukul 8 kurang saat aku memarkirkan mobilku di basement. Aku naik menuju lantai kamarku dengan perasaan berkecamuk, antara sedih, marah, kecewa, lega, semua bercampur jadi satu.

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang