Chapter 8

60 10 2
                                    

#Swara's POV

"Di kamar aja Jun." Aku berkata pada Juna. Dia menaruh Alya perlahan di kasur kamar.
"Ngga ke rumah sakit aja?" Dia bertanya.
"Kecapekan doang sih kayaknya. Biar gue pasang infus dulu." Kataku.
"Hah kok lu ada alat2 kyk gituan dah." Dia terkejut melihat aku membawa alat2 kedokteran.
"Gua kan mahasiswa kedokteran, biarpun psikologi juga, emngnya ngga belajar dasar2 kedokteran." Aku berkata kesal.

"Btw Jun..." aku memanggilnya. Dia sejak tadi duduk di sisi Alya.
"Hmm?" Dia menjawab malas.
Aku duduk di sisi satunya.
"Lo tau kalo Alya punya masalah banyak? I mean, yang bikin dia kena gangguan psikologi." Aku bertanya.
Juna terkejut menatapku, tapi hanya diam.
"Oke. Gua anggep sebagai jawaban iya." Aku menyimpulkan. Aku mulai memasang infus pada punggung tangannya.
"Tisa cerita juga?" Dia tiba2 bertanya.
"Cerita apa?ngga. Gue sama Alya ngga sedeket itu. Dia malah ngehindarin gue grgr gue secircle sama Janita. Gue cuma menyimpulkan aja, soalnya gua sama Alya pernah salah paham gitu." Aku berkata.
"Salah paham gimana?" Dia penasaran.
Aku pun bercerita dari awal mula bertemu Alya, sampai kesalahpahaman ku tentang rokok waktu itu.
"Gue cuma nyimpulin masalah utamanya finansial sih, soalnya dia se effort itu nyari uang. Dan ya gara2 salah paham rokok itu gua jadi kepikiran sih." Aku berkata menghela nafas.
Juna memandang Alya.
"Oh..emm gue ngga tau. Apa finansial itu masalah utama. Atau ada masalah lain. Sebagai orang yang belajar psikologi. Kayaknya ini lebih dari sekadar finansial. Terlalu banyak. Gue sampe ngga tau udh seberapa banyak yang Alya hadepin dan Alya tahan sendiri." Aku tercekat.
Juna menatapku.
"Maksud lo?" Dia bertanya. Aku kemudian menggulung lengan baju Alya.
Juna membelalakan matanya.
"Self harm?" Dia terkejut.
Aku mengangguk.
"Kayaknya sampe pernah nyoba suicide." Aku menambahkan.
Juna menggulung lengan baju Alya di sisi satunya. Dia meraba lengannya.
"Beberapa masih baru. Tapi yang ini paling tebel." Dia meraba bekas paling tebal di pergelangan tangannya.
"Iya itu yg percobaan bunuh diri kayaknya." Aku berkata.
"Tadi gua juga meriksa takut2 ada luka benturan pas jatuh pingsan tadi. Ada memar...tapi bukan karna kejadian pingsan tadi. Memarnya banyak. Nyaris di badanya semua. Di sudut mata sama bibirnya kalo diperhatiin juga ada luka baru." Aku menjelaskan sambil menunjukkan ke Juna.
Juna memperhatikannya dengan seksama.
"Ini?luka dipukulin?" Dia berkata ragu.
"Gue ngga tau. Kalo lu nanya ke gua. Berarti lu juga ngga tau masalah ini. Belum bisa ambil kesimpulan kalau luka pengeroyokan sih. Karna ngga ada bukti sama sekali." Kataku.
"Hmm. Kita ngobrol diluar aja. Biar Alya istirahat. Sekalian gua bikinin minum. Tapi seadanya, gue belom sempet belanja tadi." Aku beranjak keluar.
Juna pun beranjak berdiri.

"Cola ngga papa?" Aku bertanya. Juna mengangguk masih melamun sedih.
Aku membuka lemari penyimpanan Yota. Ada beberapa makanan ringan.
'Yot, ntar gue ganti.' Aku berkata dalam hati.
"Gue ada makanan ringan doang nih. Kalo mau makanan berat biar gue order dulu." Aku menawarkan. Juna menggeleng.
Kami diam.

"Jun."
Dia menatapku.
"Gue mau minta maaf. Gua udah brengsek." Kataku memulai
"Emang. Kenapa baru nyadar sekarang. Grgr putus lu sama si Jiyah?Baru nyadar kalo Jiyah bajingan?" Dia mencemooh Jiyah. Aku tidak tahu kenapa Jiyah tiba2 terseret ke dalam perbincangan kami.
"Eh bangsat. Gausah bawa2 Jiyah. Gua ngundang lu kesini bukan mau ribut. Lagian apa masalah lo sampe tiba2 nyeret Jiyah. Gua tulus minta maaf. Emng gua nya yang brengsek." Aku marah mencengkram kerah lehernya
"Cih. Ternyata masih buta." Dia menepis tanganku.

"Gue harusnya ngga ikut campur masalah ini. Terutama masalah lu berdua sama Jiyah. Tapi ini kemungkinan ada hubungannya sama Tisa juga." Dia berkata padaku. Aku diam. Dia kembali duduk.

"Dari mana gue harus cerita..hmm." dia berpikir.
"Lu jangan ngarang cerita!" Aku menggertak.
"Ck sabar ta*." Dia mendengus.
"Dari Tisa." Dia memulai.
"Awalnya iya gua cuma tau masalah finansial nya dia. Dia kerja coffeeshop sama minimarket udh dr umur 15 tahun. Kelas 1 SMA. Tapi bantuin nyokapnya di kedai dari SMP."
"Kedai?" Aku bertanya.
"Oh lu ngga tau?"
Aku menggeleng.
"Senin sampe jumat nyokapnya buka kedai makanan berat lunch sama dinner. Sampe sekarang sih. Sabtu minggu buka tent bar lebih ke street food. Kalo minggu Tisa pulang shift minimarket kadang dia suka bantu2 lagi di tent bar nyokapnya kalau masih rame. Kadang kita dateng kesana sekalian nongkrong." Juna menjelaskan. Aku baru tau.
"Itu setiap saat?dia kayak gitu." Aku bertanya.
Juna mengangguk.
"3 tahun selama SMP bantuin nyokapnya di kedai. 3 tahun SMA nyari duit sendiri, soalnya usia legal kerja kan, dia kerja di coffeeshop sama minimarket. Sampe dia bisa beasiswa di kampus kita gitu, gue yakin sih kerja kerasnya luar biasa. Gua juga heran gimana dia bisa ngadepin itu semua. Gue fikir masalahnya cuma itu...."
"Bokapnya?" Aku tiba2 terpikir itu karna sejak tadi Juna hanya bercerita tentang Alya dan Ibunya
"Nah..sampe kemarin gua baru bener2 tau benang merahnya. Kunci permasalahan hidup Tisa ada di bokapnya." Dia berhenti sejenak.
Menghela nafas.
"Gue sebenernya ngga pantes nyeritain aib seseorang. Selain itu ini bukan tentang gue. Berhubung lu anak psikologi. Gue harap abis ini lu bisa nolong Tisa." Dia berdehem.
"Kemarin. Gue baru tau dia punya PTSD-"
"Hah?mentally disorder?penyebabnya?"
"Iya ini mau gua ceritain." Juna kesal ceritanya ku potong. Aku meminta maaf.
"Kemarin, ada suatu kejadian, nanti gue ceritain, yang mentrigger Tisa ngalamin ini. Pokoknya abis dia liat itu. Dia muntah, mukanya pucet kyk org mau mati. Kayaknya sampe skrng ini, jadi demam."
"Karna gue ngeliat Tisa kyk gitu. Mau ngga mau Tisa cerita, penyebab kenapa dia bisa gitu." Juna bercerita tentang perselingkuhan Ayah Alya. Juna benar. Ayah Alya kunci penderitaan Alya selama ini. Aku bisa paham. Alya hebat bisa bertahan seperti ini.
Aku mengangguk memahami.
"Gue baru tau kalau hidup dia se complicated ini. Berat banget." Kataku.
Juna mengangguk.
"Masalah memar2 di badan nya. Gue baru tau ini. Kayaknya gue harus ngumpulin Wisa, Rana sama Dana deh." Juna berkata.
"Iya harus lu omongin bareng2. Lu boleh pake apart gue, gue keluar dulu. Ngga enak, gue masih circle luar." Aku beranjak.
"Bentar, Ra." Juna menahanku.
"Gue belom selesai. Ada yang belom gue ceritain." Juna menatapku serius.
"Bentar gue kirim message ke yang lain dulu." Dia berkata.

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang