Chapter 16

46 8 3
                                    

#Tisa's POV

"Kamu yakin nggapapa?" Tanya kak Swara saat mengantarku pulang. Aku mengangguk.
"Kak." Aku memanggilnya. Dia menatapku.
"Saya minta maaf karna terus2an ngerepotin kak Swara." Kataku.
"Enggak, Al. Aku ngga pernah ngerasa di repotin. Karna ngga tau kenapa aku...aku sa-"
"Jangan bilang itu kak. Bukannya terlalu percaya diri, tapi saya takut ngga bisa membalas perasaan kak Swara." Aku memotong kalimat kak Swara. Hatiku berdenyut.
"Anggap aja bukan rasa sayang. Itu rasa kasihan. Saya ngga pan-"
"Kamu ngga berhak bilang gitu. Bukan kamu yang ngerasain perasaan ini Al. Kamu tau hatiku sakit waktu liat kamu jongkok di pinggiran jalan kemarin. Hati aku teriris, ketika aku ngga liat lagi senyumanmu di saat hujan mulai turun. Ini bukan rasa kasihan, Al. Kamu tahu betapa sakitnya ketika senyuman yang bikin aku jatuh cinta itu sirna? Aku janji Al. Aku janji bakal bikin kamu senyum lagi ketika kita sama2 menghirup petrichor." Kak Swara menggenggam tanganku.

Sakit.
Terlalu sakit.
Samua perkataan kak Swara membuat hatiku nyeri.
Tidak seharusnya dia berkata seperti ini.
Seharusnya kak Swara tidak berkata seperti ini.
Aku semakin takut kehilangan kak Swara.
Maaf kak sebelum semuanya lebih jauh.

"Maaf kak. Sepertinya saya dan kak Swara harus sampai sini aja. Saya ngga bisa. Tapi terimakasih kak Swara mau bilang itu semua. Saya...bahagia." suaraku tercekat. Aku mengepalkan tanganku. Bahagia. Suatu perasaan yang sangat takut ku rasakan. Aku tidak ingin merasakannya lagi. Kehadiran kak Swara, perkataan kak Swara, semua tentang kak Swara membuatku bahagia. Tapi aku tidak bisa memilikinya karna aku tidak mau kehilangan rasa bahagia itu. Lebih baik aku tidak merasakan kebahagiaan itu sama sekali.

Aku berbalik setelah membungkuk pamit. Kak Swara masih memanggilku tapi aku tetap berjalan menjauh dengan hati yang sakit.

#Swara's POV

Setelah hari itu. Aku tidak bisa menghubungi Alya. Dia juga tidak bekerja di minimarket, kata Krisna dia sedang mengambil cuti karna alasan kesehatan. Aku mencoba menghubungi Wisa, tapi Wisa bilang dia juga tidak bisa menghubungi Alya. Kedai Ibu Alya juga tutup beberapa hari.

--
Hari pertama semester baru. Aku memasuki semester 6.
"Mau ikut ngga ke seni?" Yota tiba2 bertanya. Aku mengangguk semangat, mungkin itu satu2nya cara bertemu Alya.

"Lu udah tanya nyokapnya?" Aku mendengar Rana bertanya. Mereka semua berkumpul. Kecuali Alya. Aku tidak melihat Alya dimanapun.
"Lho Tisa mana?" Yota bertanya. Yang lain menggeleng.
"Ngga ada kabar udah seminggu." Juna berkata.
Dana hanya menunduk. Rana menatap khawatir.
"Tadi gua ke rumahnya. Kedainya udah buka sih. Tapi Tisa ngga ada. Nyokapnya bilang dia udah berangkat dari pagi. Nyokapnya malah ngasih ini bekal ke gue. Tisa pamitnya ke kampus katanya." Wisa menjelaskan.
"Dia juga udah ngga keliatan di coffeeshop seminggu kemarin. Kedai nya juga tutup seminggu kemarin sih. Nyokapnya bilang emang lagi pergi ke rumah adeknya di Busan seminggu, tapi gue ngga nanya Tisa ngikut atau ngga." Wisa menambahkan.
"Di minimarket juga enggak, udah ngga keliatan." Kataku menjelaskan. Aku duduk dengan risau antara ingin bercerita atau tidak. Dana akhirnya berbicara.
"Wis, kayaknya kita harus ngomongin itu."
Wisa menatapnya.
"Kenapa lagi?ada yang ditutupin lagi?" Rana berteriak marah.
"Denger ya kalo ini soal Tisa kenapa kalian ngga langsung cerita. Bukan lu doang yang ngerasain khawatir sama dia. Gue juga sayang Tisa. Gue mau bantu Tisa." Tangis Rana meledak.
Juna menahan Rana.
"Iya Wis. Gue tau lo orang terdekatnya. Tapi sekarang, kita juga ngerasa kita bertanggung jawab atas kebahagiaan Tisa. Kita juga mau Tisa bahagia." Juna berkata.
"Bukan. Ini bukan salah Wisa. Biar gue yang mulai cerita." Dana memulai.
"Intinya gue baru tau kalo bokap angkat gue yang baru married sama nyokap gue...ternyata itu bokapnya Tisa." Dana berkata.
Semua terkejut.
"Gue baru tau dari Wisa pas kamis minggu lalu dia kerumah gue dan ketemu bajingan itu." Dana terlihat frustasi.
"Dana kabur dari rumah sejak itu dia nginep di tempat gue. Gua sama Dana bingung gimana harus ngasih tau ke Tisa nya. Dana lagi di posisi yang ngebingungin juga." Wisa mengacak2 rambutnya.
"Alya udah tau." Aku berkata singkat menunduk.
Wisa dan Dana menatapku terkejut.
"Kamis itu. Kamis yang sama dimana gue ngga sengaja ketemu Alya di pinggir jalan." Aku memulai, lalu menceritakan semuanya. Dari awal aku menemukannya sampai terakhir aku mengantarnya dan mengungkapkan perasaanku.
"Itu terakhir kalinya gue ngomong sama Alya. Dia nolak gue. Nyuruh gue buat ngejauh. Lagi." Aku menatap ke arah kekosongan. Hatiku berdenyut nyeri. Rana menangis. Tidak bukan Rana saja, tapi Wisa dan Dana juga. Air mata Juna dan Yota sudah menggenang di pelupuk mata.

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang