Epilog.

122 12 12
                                    

"Wihhhh, Tis nih tadi dapet titipan dari Pak Prayogo, happy banget dia sama projekan lu. Katanya sukses lho." Seseorang masuk ke dalam apartemenku sambil membawa parcel. Aku yang saat itu sedang menyelesaikan masakanku menyauti perkataan orang yang baru saja masuk itu.
"Ehhhhh, Pak Juna bisa aja."
"Anjing geli bangsat. Udah gua bilang jangan manggil gua pak."
"Ya kan lo bos gue juga, kak. Ngga sopan kalo gue manggil lu sembarangan."
"Ya kan ini ngga lagi di kantor." Kak Juna membuka jaketnya dengan sembarangan dan menjatuhkan dirinya di sofa.

Janitra Arjuna. Seniorku yang beda 2 tahun dariku. Yang sejurusan denganku. Kak Juna yang sekarang menjadi bos ku. Dia berhasil mendirikan perusahaan arsitekturnya sendiri dalam waktu 5 tahun setelah dia lulus. Kak juna dengan tangan terbuka menawarkan bekerja di perusahaannya. Yang berarti aku sudah bekerja bersama dia sejak aku lulus 3 tahun lalu.

Teettt.

Suara bel di bunyikan. Aku berlari membuka pintu. Dan menghambur kedalam pelukan si tamu.
"Aaaaaa Danasura Danendra. Gila ya lo baru muncul sekarang."
"Hahahaha gila kangen banget guee. Udah ada siapa aja?"
Aku membawa Dana masuk ke dalam apartemenku.

Danasura Danendra. Teman seangkatanku. Mahasiswa Sastra Inggris, adik tingkat Wisa. Sejak kami lulus, Dana memutuskan bekerja di luar negeri. Dia bekerja di kedutaan besar korea yang terletak di Amerika. Ini pertemuan kami setelah terakhir kali kami mengantarnya ke bandara saat itu.

"Kak Jun, apa kabar!" Dana dan Kak Juna saling memeluk.
"Makin ganteng lo, Dan!" Kak Juna berseru.

Aku memandang keduanya yang sedang mengobrol. Pikiranku melayang jauh ke masa2 sulitku. Berulang kali ingin mengakhiri hidup. Berulang kali mau menyerah. Bersyukur aku masih hidup hingga detik ini. Aku berhasil melalui masa kuliahku. Aku berhasil menjalani hidupku dengan bahagia. Karena hadirnya orang2 ini. Aku tersenyum sambil memandangi bekas luka2 di lengan tanganku yang sudah memudar. Luka perjuanganku.

Ceklek.

Suara pintu depan terbuka dan seorang anak kecil berumur 3 tahun berlari menghambur ke dalam pelukanku.
"Tante Alya."
"Halooo Hiroo. Lhooo, papa mama mana?"
"Ituu." Anak kecil itu menunjuk ke pintu, lalu muncul sosok Kak Swara dan seorang wanita di belakangnya.
"Hirooo, jangan ganggu Tante Tisa kalo tante nya lagi masak."
"Ngga papa Jamie, ini udah beres semua kok." Aku menggendong anak kecil itu dan tersenyum memandang Kak Swara.

"Sayang kamu liat dompet aku, ngga?"
Hiro turun dari gendonganku dan menghambur ke sosok yang baru muncul.
"Papaaa."
"Ada di gue bloon, tadi lu nitip ke gue pas belanja." Kak Swara menyerahkan dompet kepada kak Yota.

"Kamu ngga kerepotan masak buat segini banyaknya?" Kak Swara menghampiriku setelah membereskan barang2 Kak Yota dan Jamie, lalu merangkul pinggangku dan mengecup kepalaku. Aku menatap matanya.
Sudah berjalan lebih dari 5 tahun, tatapan itu masih terus sama. Tatapan penuh cinta.

Aku menggeleng.
"Projekanku udah kelar semua. Udah lama aku ngga masak buat kita semua, aku seneng juga udah lama apart kita ngga ramai gini." Aku menyandarkan kepalaku pada dada bidang kak Swara.

Tetttttt.

"Wei wei yang ditunggu udah dateng!" Seru Kak Juna.
Kami pun bersiap.
"Tis kenapa dadakan sih kan lo tau gue sama Wis-"
"Tanteeee Ranaaaa! Om Wisaaa!"
Hiro berseru menghambur kepada keduanya.
"EHHHHH!?" Wisa dan Rana terkejut melihat apartemen kami yang ramai.

"Wah emang namanya jodoh ngga ada yang tau. Wisa sekalinya nyusul Kak Yota, langsung sama Rana ya. Hahahaha" Dana tertawa.
"Hehehe yagituu. Maaf nii Jun, Ra. Gue duluan yeee. Lama sih. Si Juna juga lama geraknya. Lo sendiri Dan?" Wisa meledek Kak Juna dan bertanya pada Dana.
"Udah ada sihhh, ini dia ngikut gue ke korea buat dikenalin ke nyokap bokap hehe." Dana cengengesan.
"Serius?! Kok ngga dibawa sekalian ke sini?!" Aku memprotes.
"Ahahaha tadi dia malah keasikan hangout berdua sama nyokap."
"Yahhh anjir males nih gua kalo ujung2nya gua yang kena ahaha. Tenang bulan depan gua mau ngelamar Sophie kok." Kak Juna menyeruput minumannya.
"Kak swara jugaa nihhh, ngga kasian itu Tisa." Rana menggoda ku dan Kak Swara.
Aku bersemu.
"E-emmm."
"Lah kan Swara udah ngelamar Tisa. " Kak Yota menyeletuk.
Yang lain melotot ke arah kak Swara yang sedang memamerkan cincinnya.
"Hahahahah surprise!!" Kak Swara tertawa.
"Tenang Wis. Alya udah di tangan yang tepat kok sampe akhir." Kak Swara mengecup kepalaku.
"Yahhhh bener2 emang, gue harus buru2 ngelamar Sophie juga. Kapan resepsinya?" Kak Juna bertanya.
"Hmm karna sekarang lagi fokus buat nikahan Wisa sama Rana besok. Jadi tanggalan nikahan kita masih dirahasiakan hehe." Aku terkekeh.
"Wah emang dah bener2 dari jadian sampe mau nikah aja mainnya underground banget ya lu berdua. Gila aja ngga ada yang tau kapan jadiannya, ya walaupun emang banyak yg ngarepin lu berdua jadi sih. Tapi ya ngga rahasia2an juga." Wisa memprotes.
"Takutnya kalo diumbar2 ntar ngga jadi. Mending diem2-"
"Diem2 tau2 hamil anak orang!" Kak Juna nyeletuk memotong kalimat Kak Swara. Membuatku terbelalak.
"Ya ngga gitu lah, bego. Gila aja." Kak Swara terkekeh.

"Ahahaha udah2 ribut mulu ya emang kerjaannya tuh kalian. Ayok cheers buat pasangan yang mau married besokk. Semoga lancar ya!! For Wisa and Rana!!" Aku memimpin mengangkat gelasku diikuti seruan yang lain.
"For Wisa and Rana!!"
"Mantap ya Wis, Ran!"
"Cepet diberi momongan biar Hiro ada temen!"
"Bahagia selalu ya kalian berdua." Aku menangis memeluk Wisa dan rana yang juga menangis.
"Lo juga Tis. Ngga usah takut buat bahagia. Karna gua yakin Kak Swara pasti bakalan ngga ngebiarin lo ngga bahagia kalo sama2 dia." Rana mengusap punggungku.
Kak Swara menatapku dan tersenyum sendur. Rana benar. Aku tidak perlu lagi takut untuk bahagia. Karna sekarang dan selamanya, aku sudah menemukan kebahagiaanku.

----------------------------------

"Mamaa...ayo udah mau hujan!!" Teriak seorang anak kecil.
"Varsha, pakai dulu jas hujannya." Wanita itu dengan sigap memakaikan jas hujan kepada sang anak yang sudah melompat tidak sabar.
"Lets go, ketempat papa." Anak kecil itu mengamit jemari ibunya.

"Papaaaa!"
Anak kecil itu keluar dari mobil dan menghambur ke pelukan pria yang berdiri di pintu depan Seoul Counseling Center.
"Varsha, itu baju papa basah, nak." Sang wanita menyusul menghampiri si pria. Si pria mengecup bibir wanita itu.
"Kalau kamu capek, aku aja yang nyetir."
Sang pria menggeleng.
"Ngga kok. Lagian kan dekat cuma ke rumah Ibu."
"Mamaa, Petrichor emang seenak ini ya baunya." Di anak kecil itu berlarian di tengah hujan sambil menghirup nafas dalam.
Kedua orang dewasa itu terkekeh melihatnya.
"Persis kayak kamu kalo lagi kesurupan, Al." Swara mengecup kepala Tisa.
"Hehe kalo sekarang kan bukan cuma bau hujan yang bikin aku kesurupan."
Swara mengangkat alisnya.
"Bau kamu lebih memabukkan." Tisa tersenyum menggoda dan mengamit lengan Swara. Swara mendelik bersemu dan menggendong sang anak perempuannya.
"Wahhh, Varsha kayaknya mama mu mau kamu punya adek deh." Swara tertawa.
"Yeeyy. Varsha mau punya adek! Adek harus lahir pas musim hujan juga biar sama kayak Varsha. Biar nanti petrichor jadi bau favorit adek juga." Varsha bersorak riang. Tisa dan Swara mengecup sayang kepala sang anak.



Dulu aku pikir hanya hujan yang bisa membawa kebahagiaan untukku, tapi setelah aku bertemu teman-teman dan tentu saja Kak Swara, aku menyadari aku bisa berbahagia tanpa harus menunggu datangnya hujan, aku bisa merasakan kebahagiaan selamanya. Kebagiaanku pun terus bertambah seiring dengan hadirnya Varsha, anak kami. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini. Aku tidak pernah menyesal bertahan hidup sampai detik ini. Terimakasih Ibu, Wisa, Rana, Dana, Kak Juna, Kak Yota, dan tentu saja suamiku tercinta, Sajjana Baswara - Retisalya Adhiyaksa


                          (END)

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang