Chapter 2

106 10 2
                                    

#Tisa's POV

"Gimana?aman hari ini?" Wisa bertanya sambil merapihkan konter kue.
Pulang kuliah, aku dan Wisa memang langsung menuju coffeeshop tempat kerja kami seperti biasa.
"Aman. Tapi gatau gerah lama2 gua ditatap sama org2 kyk gitu." Aku mengeluh.
"Ya salah lu. Baru masuk udah nyari sensasi. Hahaha" Wisa tertawa.
Aku menghela nafas.
"Bener kata Lu. Masalah yang nyariin gua." Aku berkata.
Ctlingg.
"Selamat datang." Kami mengucap berbarengan saat satu pengunjung masuk.
Laki2 masih muda.
"Silahkan mau pesan apa?eh-" Wisa yang bertugas di kasir menatap pengunjung itu.
"Hmm." Pria itu mengangkat alis.
"Aku pernah melihatmu sepertinya." Wisa tersenyum. Pria itu menatap tajam. Wajahnya terlihat galak.
"Sepertinya kau salah orang. Saya baru beberapa kali lewat sini." Kata pria itu.
"Wis-" aku baru ingin menegurnya.
"Ah benar kau tingkat 1 sastra inggris kan?Yang dipilih jadi perwakilan angkatan." Wisa tersenyum lebar. Pria di depannya terlihat tidak nyaman. Wisa memang orang yang bodoh dan tidak peka. Pria itu seperti tidak nyaman dengan orang.
Aku mendorong Wisa untuk bertukar tugas denganku.
"Maaf dia emang gitu. Mau pesan apa?" Aku bertanya tanpa basabasi.
"Ada rekomendasi?" Dia berkata singkat.
"Amerikano menjadi menu best seller kami." Kataku.
Dia terlihat menimbang.
"Hm boleh 1." Kata dia.
"Atas nama?" Aku bertanya
"Ngga usah tulis nama. Saya nunggu disini." Kata dia singkat.
"Baik 35ribu." Kataku tanpa banyak protes. Dia menyerahkan 4 lembar 10ribuan.
"Kembaliannya ngga perlu." Dia kemudian melipir pergi dari depan kasir setelah aku mengucapkan terimakasih.

"Gih sana balik ke kasir. Udh gausah banyak komen. Jangan bikin orang jadi ngga nyaman. Apalagi dia customer." Aku berbisik pada Wisa.
"Iya iya sorry." Wisa merengut.

"Ini pesanannya." Aku menyerahkan minumannya ke orang itu.
"Trims." Dia mengambilnya lalu berjalan pergi.

#Wisa's POV
Hari ke 4 masa pengenalan kampus. 1 hari lagi selesai masa2 neraka Tisa.
"Masih aman aja?" Tanyaku di telpon kepada Tisa.
"Masih masih. sejauh ini masih kok." Tisa berkata.
"Ahahhah Tisa jadi seleb jurusan banget Wis." Suara Rana menggoda Tisa. Aku terkekeh. Rana termasuk orang yang berani meledek Tisa karna Tisa menghargai Rana sebagai teman pertamanya

Sebenarnya kalau boleh dibilang. Rana mirip Tisa. Bedanya Tisa pendiam. Rana yang bawel. Tapi keduanya sama2 pencari masalah. Bukan, bukan pencari. Tapi dicari.

Kemarin.
"Dara?" Sebuah suara memanggil saat aku, Tisa, dan Rana sedang beristirahat di lorong belakang seni, sepertinya tempat ini akan menjadi basecamp kami.
Rana menoleh cepat ke arah sumber suara.
Aku dan Tisa bingung.
"Hah?salah orang deh lo Yot." Aku menyadari bahwa Yota lah yang memanggil.
"Ngga ada yang namanya Dara." Kataku lagi.
Yota menatapku.
"Ramaniya Darana." Dia menunjuk Rana dengan dagunya.
Aku dan Tisa terkejut. Menatap Rana yang melongo.
"Yuga?" Dia berkata.
"Apakabar?udah lama ngga ketemu. Lu makin cantik aja. Eh gue buru2, boleh minta nomor lu aja ngga Ra?" Yota berkata dengan raut wajah menjijikannya sambil mengulurkan ponselnya.
"Yota!" Suara wanita dibelakangnya. Yap. Pawang sang playboy. Irena, datang menghampiri.
"Maba seni emng ngga ada kapoknya ya. Nyari masalah mulu. Yang satu nyari masalah sama sobat gue. Yang satunya flirting pacar gue " Kata dia tiba2.
"Lah ap-" aku hendak memprotes tapi dipotong oleh Rana.
"Haha sorry aja ya kak. Mending kakak tanya sama pacar kakak. Lagian saya juga ngga ada perlu sama dia. Flirting?Yang bener aja kak. Saya juga milih2. Gabakal juga milih dia lagi. Saya punya otak." Rana memutar bola matanya. Kemudian beranjak berdiri. Aku dan Tisa melongo. Ku ralat. Dalam hal omongan, Rana lebih parah dibanding Tisa. Tapi keduanya sama2 seram.
"Yok Tis. Ikut gak lu Wis?" Rana melenggang pergi, aku dan Tisa mengekor dibelakangnya, meninggalkan Yota dan Irena yang memandang kesal.

"Anjir gua gatau kalo Yuga kuliah disini." Rana ngedumel setelah kami menjauh, mencari tempat lain.
"Yuga?" Aku bertanya.
"Yuganta Nayottama. Yuga." Dia berkata singkat kemudian meminum banana milknya.
"Iya Yota. Kok lu kenal?" Tanyaku penasaran.
"Kakak kelas gue di SMA..." kata dia
Aku dan Tisa ber 'Oohhh.'
"Mantan gue." Tambahnya. Tisa membelalakkan mata.
"Uhukkkk.." aku tersedak.
"Wis wis jangan mati dulu." Tisa menepuk2 punggungku.
"Sakit anjir iya gua mati gara2 di gebuk lu." Aku memprotes.
"Ahahahhaha." Rana dan Tisa tertawa.
"Gimana bisaa?" Kataku tidak percaya.
"Ya bisa aja ahahah. Reputasinya gimana disini?Masih terkenal playboy?Mantannya dimana2?Kayaknya dari kelakuannya tadi, ngga berubah deh." Rana terlihat jijik
Aku mengangguk.
"Dari jaman SMA udh kayak gitu?" Tisa bertanya.
"Iya. Gue putus juga gara2 dia flirting gitu ujung2nya dia selingkuh. Alesannya mau fokus ujian masuk universitas. Taunya main sama cewek lain." Cerita Rana. Raut wajah Tisa ikutan kesal kalau berhubungan dengan laki2 yang brengsek.
"Reputasinya sih masih playboy sama tukang flirting. Tapi kalo selingkuh kayaknya ngga deh sekarang. Pawangnya kayak pembunuh berantai gitu." Kataku merinding membayangkan wajah Irena.
"Bagus deh biar nurut juga itu si Yuga. Ngga peduli juga sih gue." Rana melahap potongan roti terakhirnya

Petrichor. [Park Sungjin] | Day6 AU✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang