Berakhir.
Satu kata itu saja.
Mereka berakhir.
Zaira harus kembali membiasakan dirinya. Membiasakan diri tanpa telepon dari Abi untuk memulai hari. Terbiasa tanpa klakson mobil Abi setiap kali lelaki itu tiba di rumahnya. Terbiasa tanpa Abi yang selalu siap siaga ketika Zaira butuhkan.
"Aih, iya lupa." Zaira terkekeh pelan namun air matanya menetes.
Gadis itu hampir saja ingin mengirimkan pesan selamat pagi kepada Abi namun segera disadarinya.
Anggaplah perkataan Zaira kemarin adalah ajakan putus namun secara halus.
Zaira bangkit dari kasur empuk yang membuatnya lupa akan kejadian kemarin malam. Dia harus bisa kembali melaksanakan hari - hari menyenangkannya jauh sebelum mengenal Abi.
Sekarang yang perlu dipikirkan Zaira adalah bagaimana cara dirinya menjelaskan bila ditanya penyebab matanya sembab oleh kedua orang tuanya.
Di luar dugaan, Deka dan Virzie diam. Mungkin mereka paham akan apa yang terjadi antara Zaira dan Abi.
Hari pertama tanpa Abi, Zaira menuliskan note di ponsel pintarnya,
"Hari pertama tanpa Kak Abi"
Gadis itu menuruni tangga menuju ruang makan keluarga.
"Pagi ma, pagi pa." Masih dengan suara sumbangnya.
Deka menghampiri Zaira sembari merangkul anak gadis satu - satunya itu.
Ini kali pertama Zaira merasakan patah hati. Jauh diluar ekspektasi Zaira, rasanya semenyakitkan ini.
Sarapan di ruang makan pagi ini cukup berbeda atmosfer nya.
"Ma, Pa, nanti minta tolong Pak Iman jemput Zaza jam 2 ya, Zaza dijemput Nara pagi ini," Ujar Zaira seusai dirinya menghabiskan nasi goreng di piringnya.
"Nak, senyum lagi ya, jangan sedih - sedih lagi," Ujar Deka sambil memeluk Zaira, Zaira mencoba sekuat tenaga agar pertahanannya tidak kembali runtuh.
-----
Hari pertama tanpa Zaira,
Sama halnya dengan Zaira, lelaki itu hampir saja mengirimkan pesan selamat pagi pada Zaira, namun segera disadarinya.
"Sesak anjir," Umpatnya sambil memukul dadanya pelan.
Laki - laki itu bangkit dengan segera, walaupun sakit hati, dirinya tidak boleh sakit seperti kata Zaira semalam.
Harus terbiasa tanpa Zairanya. Terbiasa tanpa memanjakan Zaira. Terbiasa tanpa senyum manis dan suara menenangkan milik Zaira.
Seusai sarapan dalam kesendirian, Abi melangkah menuju kamar mandi di kamarnya untuk menjalankan ritual mandi seperti biasa. Kemudian menuju walk in closet nya, memilih kemeja tanpa bantuan pendapat dari Zaira.
Setelahnya, lelaki itu langsung menuju garasi untuk berangkat ke rumah sakit.
Abi memutar haluan menuju komplek perumahan yang bisa dikatakan rumah ternyaman keduanya,
Dia melihat gadisnya, ah bukan, dia melihat Zaira keluar dari gerbang rumahnya dibonceng oleh Nara.
Abi sangat paham, Abi mengerti Zairanya menangis dibalik masker itu.
Lelaki itu melajukan mobilnya kembali, kali ini benar - benar menuju tujuan utamanya.
-----
Pukul 14.00
"Nara, gue ga ikut ke rumah sakit ya, lo sama Safira aja, gapapa kan?" Ujar Zaira memohon berharap Nara mengerti.
Hari ini adalah jadwal pengambilan surat pengesahan laporan kelompok mereka dari pihak rumah sakit.
"Gapapa Za, gue paham kok, udah yok, ga usah nangis ntar bingung pasien lo," Ajak Nara.
"Gue balik ya, hati - hati Ra!" Ujar Zaira kemudian menaiki mobil yang sudah ada Pak Iman di balik kemudinya.
"Jalan pak," Ujar Zaira dan Pak Iman menjalankan mobilnya.
"Saf, ayo buruan ih lama banget nutup ruangan doang," Ujar Nara.
"Zaza? Sama Dokter Abi?" Tanya Safira sambil menunjukkan kedua jarinya berpisah dan diangguki oleh Nara.
"Pasti tuh dokter ya bertingkah kan? Perlu banget gue ceramahin!" Safira kesal dan Nara menepuk bahu Safira.
"Bacot banget lu haha, pas ketemu si dokter kicep, udah ayo, keburu Bu Mita balik," Ajak Nara.
-----
Nara dan Safira melangkah keluar setelah membawa lembar berharga itu.
"Nara," Panggil suara bariton dari belakang.
Nara dan Safira menoleh dan menemukan Abi yang tampan dan gagah dengan jas putih lengan pendek melekat di tubuhnya.
"Saya titip ini ya, kasihin Zaira," Ujarnya sambil menyerahkan sebuah tas kertas.
"Kado ulang tahun?" Ujar Nara dan Abi terkekeh.
"Iya, ternyata keburu ga bisa ngasih sendiri, saya titip Zaira sama kalian ya," Ujar Abi lagi.
Tidak berbohong bila Nara melihat masih ada secercah harapan di mata Abi.
"Iya pak dok, Zaira aman sama kita, kalo gitu kita pamit dulu.." Ujar Nara.
"Mari pak dokter, kita pamit ya," Kali ini giliran Safira.
Menjadi asing, padahal bila dihitung - hitung, Zaira dan Abi baru kenal kurang dari tiga bulan ini. Namun, antara satu sama lain sudah membawa pengaruh yang cukup besar.
Abi dan Zaira yang kini tidak bisa disebut sebagai "kita". Zaira yang sudah bukan menjadi rumah bagi Abi, begitupun ssbaliknya. Zaira dan Abi yang kini memilih jalan berlainan.
Zaira dan Abi yang kini mencoba menepis semua rasa demi kebahagiaan yang mereka pikir akan muncul bila dengan cara ini.
Zaira tersakiti, Abi tak kalah tersakiti. Disini, mereka mencoba mendewasakan diri. Berharap keajaiban akan muncul nanti. Entah dengan kembali nya mereka bersama ataupun masing - masing menemukan sosok baru sebagai penyembuh luka.
-------
Aku tau part ini pendek banget,
Semoga Suka, support terus cerita ini yaa
Regard, author cantik

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable✔ [BELUM REVISI]
Fiksi RemajaStart : 23 Juni 2020 Finish : 4 Maret 2021 "Orang tua aku mau ke rumah buat ketemu orang tua kamu." - Abiyaksa Al Fatih "Ha? Ngapain kak?!" - Zaira Dhiya Ulhaq Bagaimana rasanya kalau kamu yang merupakan siswi kelas 12 baru berumur 17 tahun sedang m...