•Chapter 12

31 8 0
                                    

"Hukuman itu berat, terasa ringan jika itu bersamamu." - Katrina Anastasya
***

Pagi hari ini bukaanya ikut pelajaran justru Kara dan Febby sudah berada di lapangan untuk menjalani hukuman yang akan ia terima bersama kedua cowok yang sedari tadi mereka tunggu tak kunjung tiba.

"Dimana dua bocah itu?" Tanya pak Can yang sedari tadi sudah kewalahan menunggu Laskar dan Jimas.

Kara dan Febby hanya menggeleng, juga tidak mengetahui keberadaan kedua cowok itu.

"Atau jangan-jangan mereka sengaja gak masuk, Pak," opini Febby yang memang sedari tadi tak melihat kedua cowok itu bahkan ia sempat menanyakan pada Siti dan mendapat gelengan kepala tanda ia juga tak mengetahui keberadaan mereka.

"Awas aja kalau sampai gak masuk hari ini, hukuman kalian bapak tambahkan!" Peringatnya dan langsung pergi masuk kedalam ruang kepala sekolah yang memang menghadap ke arah lapangan.

"Gapapa deh dihukum, walau hukuman itu berat,  terasa ringan jika itu bersamamu," gumam Kara dalam hati sambil tersenyum.

Kara menyandarkan tubuhnya di tiang basket, merasakan tubuhnya yang mulai melemah akibat terlalu lama berdiri dan terapapar sinar matahari yang begitu menyengat.

Febby menghampiri dan duduk disebelahnya "kalau lo capek, mending lo ijin nunda hukuman lo aja, Ra, atau lo duduk ditepian sana."

Kara menggeleng cepat, "enggak, pak Can nanti marah trus hukumannya ditambah lagi," ucpanya dengan wajah lesu.

"Tapi lo lemes gitu, daripada lo pingsan? 'Kan gue juga yang repot."

"Enggak, Feb, gue disini aja. Lagian mereka kemana sih?"

"Kalau gue tau, gue pasti udah samperin. Ini pasti mereka kabur dari tanggung jawab!"

******

"Kar, ini beneran kita gak masuk sekolah?" Tanya Allan pada Laskar yang sedari tadi melamun sambil membuat suara dengan ketukan jarinya di meja.

"Halah! Ngapain masuk, bilang aja lo seneng kalau gue sama Laskar dihukum Sinchan, 'kan?" Sahut Jimas yang sedari tadi sibuk memainkan game diponselnya.

"Gak gitu, gue 'kan pengen belajar. Kasihan orang tua gue yang udah sekolahin gue sampai sebesar ini, ya kali ujung-ujung nya jadi penjaga kuburan."

"Halah!! Sok-sokan belajar! Kemarin lo kemana, hah? Gue ajak masuk sekolah buat ikut upacara aja lo ogah," jawab Jimas diselingi tawa liciknya.

"Kalau soal itu gue gak bisa, gue lagi sibuk!"

"Prett!! Sibuk ndasmu, bilang aja lagi ngapel lo sama Amel!"

"Tumben pinter."

Jimas menaruh ponselnya kasar menatap Allan intens, "Heran gue sama lo! Giliran gue ngomong salah aja marah, pas gue ngomong bener bilangnya tumben. Gesrek emang otak lo!"

"Berlaku buat lo itu mah. Kalau prinsip gue nih ya, semua yang lo omongin tetep salah! Ngawur! Ora penting!"

"Serah lo dah, btw ya Lan, gue kemarin liat Amel jalan sama cowok!" Ujar Jimas diakhiri dengan penekanan.

"Terus?"

"Yang playboy mah beda, pacar sendiri jalan sama orang lain bilang nya terus. Kaget dikit kek."

"Oke." Allan berdiri membenarkan kerah baju seragamnya dan menarik nafas dalam, Jimas menyeruput es teh miliknya sambil memperhatikan Allan heran.

"WHAT!!!! KOK BISA? HAHH? SIAPA? MOSO, JIM?" Teriaknya dengan ekspresi yang di lebih-lebihkan.

Karantina (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang