•Chapter 28

15 4 0
                                    

"Dunia emang sempit, ternyata pertemuan bukan akhir dari segalanya. Takdir mempertemukan kita kembali." -Rangga Prayoga.

❤️❤️❤️


Waktu sangat cepat berlalu setelah kelulusan sekolah sudah diumumkan dan liburan panjang sudah berlalu kini semua siswa masuk ke kelas yang lebih atas dari kelas sebelumnya termasuk Kara yang sekarang sudah memasuki kelas 12 dan pagi ini pula ia telat bangun untuk masuk ke sekolah.

"Ih, Mamah! Kenapa gak bilang? 'Kan Kara jadi telat!" Rusuh Kara ngedumel dengan menggunakan sepatu secepat mungkin.

Hari ini Laskar tak bisa menjemputnya, seperti biasa setiap hari senin pagi ia harus menjalankan ritualnya untuk menjenguk Diki di rumah sakit.

"Yaudah sana buruan berangkat," ucap Kinanti dari balik pintu menunggu putrinya itu mengenakan sepatu.

Setelah selesai, Kara menjabat tangan Kinanti dan tak lupa mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, hati-hati, Ra" peringat Kinanti. Kara sudah menutup pintu gerbang, kini ia harus berjalan beberapa meter untuk sampai di halte bus.

Kara berlari secepat yang ia bisa menuju halte bus yang kini sudah sangat sepi tak ada para manusia pekerja maupun yang masih sekolah menunggu di halte bus sana.

Itu tandanya bus sudah terlewat sedari tadi dan Kara harus menunggu bus selanjutnya untuk sampai di sekolah.

Jarak antara halte bus dengan sekolah lumayan jauh, tak ada pilihan lain, Kara harus berjalan ke sekolah sekarang, "nasib gue gak lagi baik hari ini," keluh Kara sambil berjalan malas di trotoar.

Sepanjang perjalanan, ia terus merutuki aktor korea yang bernama Lee Minho dalam serial korea Legend of The Blue Sea yang membuatnya maraton menonton film drakor kesukaannya semalaman.

"Lagian ini mana sih! Gak ada angkot, kesel gue lama-lama." Kara menendang-nendang kerikil jalanan higga salah satu kerikil itu terlontar jauh dan mengenai kepala seseorang disana.

Dug!

"Anjir! Siapa sih yang ulah!" Ucap lelaki yang memakai helm itu sambil celingukan mencari orang yang telah menendang batu tepat mengenai kepalannya.

Kara menatap lelaki itu terkejut, kali ini ia dilanda rasa risau dihatinya karena telah menendang batu hingga mengenai kepalanya, untung lelaki itu memakai helm kalau tidak, Kara tak bisa membayangkan.

Kara sempat ingin kabur tapi daripada rasa risaunya lebih parah, Kara mendatangi lelaki itu untuk meminta maaf kepadanya,
"Dua kali nasib gue buruk," gumam Kara dalam hati yang langsung berjalan menemui lelaki itu sambil meremas ujung roknya takut jika lelaki itu marah besar kepadanya.

"Permisi, kak, maaf tadi batu itu yang nendang saya," ucap Kara sopan, seketika lelaki itu berbalik dan menemukan Kara disana yang tengah menunduk malu.

"Oh, jadi kamu yang nendang. Saya kasih tau ya kalau tadi saya gak pake helm, bisa bocor kepala saya!" Gerutu lelaki itu dengan suara beratnya.

"Iya maaf," ucap Kara sendu masih dengan menundukan kepalanya.

"Heh, kak! Kalau diajak ngomong itu ditatap orangnya bukan nunduk gitu saya di depan kakak bukan dibawah."

Kara seketika mendongak setelah mendengar perkataan lelaki itu dan melihat wajah lelaki dihadapannya yang langsung membuatnya terkejut hingga Kara sedikit memundurkan langkahnya srmbari mengingat-ingat, sepertinya wajah lelaki itu sangat familiar untuknya.

Sama halnya dengan lelaki itu yang melihat Kara, spontan ia juga terkejut. Lelaki yang juga memakai seragam sama seperti Kara mengingat-ingat wajah Kara, sepertinya mereka pernah bertemu.

Karantina (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang