•Chapter 21

17 5 0
                                    

“Pemikiran lelaki dengan perempuan itu berbeda, yang sama hanya kaki dan tangannya saja, justru karena perbedaan itu ada, mereka bisa saling melengkapi satu sama lain.” —Diki

️❤️❤️❤️

Senin pagi motor Laskar sudah terparkir rapi di depan sebuah rumah sakit, hari ini akan menjalani ritual paginya seperti yang selalu ia lakukan.

Bukanya sengaja untuk tidak ikut upacara bendera di sekolah, namun hanya Senin pagi hari lah ia bisa menyempatkan diri untuk masuk ke dalam rumah sakit itu.

Laskar menutupi seragam yang ia gunakan dengan jaket hitam bertuliskan Alastar dibelakangnya, jaket kebanggaannya kemudian melangkah masuk kedalam rumah sakit megah yang berdiri di tengah Kota Jakarta.

Setelah lama berjalan menyusuri koridor rumah sakit, Laskar berdiri di depan sebuah ruangan. Menatap pintu di hadapannya dengan nanar, Laskar menghembuskan napas pelan sebelum mulai membuka pintu kamar yang tak terkunci. 

Tatapan pertama yang Laskar lihat adalah seorang lelaki dan wanita yang sedang saling mengobrol disana, dengan sang lelaki yang duduk diatas ranjang pasien terlihat asyik dengan wanita disebelahnya yang duduk di bangku sofa.

Tanpa pikir panjang Laskar langsung melangkahkan kaki masuk kedalam ruangan itu. "Assalamualaikum."

Kedua orang itu menengok ke arah pintu dan menjawab salam dari Laskar. "Waalaikumussalam, sini masuk," jawab mereka serempak. 

Laskar langsung mendudukkan diri di kursi dekat ranjang pasien lelaki itu. "Gimana keadaan lo bang?" tanyanya cemas. Pastinya Laskar cemas, terakhir kali ia kesini hanya ada beberapa alat medis yang berada di sekitar tubuh cowok itu. Kini ada beberapa alat tambahan yang menutupi seluruh dada bidangnya.

Cowok itu memegang pundak Laskar pelan.  "Gimana keadaan lo?" Ia berbalik tanya tanpa menjawab pertanyaan Laskar. 

"Gue baik Bang, Abang sendiri?" Bukannya dijawab cowok itu hanya tersenyum, Laskar bisa melihat senyumanya yang menurutnya sangat dipaksakan.

Seorang gadis yang duduk di sofa itu berdiri mendekat ke arah Laskar,  "Gimana sekolah dek?" tanya gadis itu sembari tersenyum.

Di sini Laskar dibuat bingung dengan tingkah kedua orang dihadapannya, kenapa tidak ada yang mau menjawab pertanyaan nya? Apa Laskar salah bicara?"

"Sekolah gue baik kok Kak."

"Bagus deh, sekolah yang bener loh, jangan main-main terus. Apalagi kalo sampe ketularan sama temen lo tu, siapa namanya?" tanya gadis itu yang lupa akan nama teman Laskar.

"Jimas, Kak?" jawab Laskar seadaanya, sepengetahuan Laskar yang kakaknya maksud adalah Jimas karena memang Kak Desty sangat suka jahil padanya. 

"Iya! Dia masih sama atau udah berubah? Gue denger denger kucingnya mati ya?" tanya Desty yang sangat rindu dengan sahabat Laskar yang satu itu.

"Lebih parah dari yang dulu, sedenger gue sih kucingnya emang mati. Katanya udah jadi tumbal duluan," jawab Laskar seadanya.

Gadis yang memiliki nama Desty itu tertawa bersama cowok di sebelahnya yang sedari tadi juga mendengar perbincangan mereka.  "Kasian juga ya Jimas, yaudah kalau gitu kakak pergi keluar bentar ya. Mau cari makan buat abang kamu."

Laskar mengangguk sembari tersenyum melihat kepergian Desty yang sekarang sudah menutup pintu kamar itu kembali.

Kini bersisakan dirinya dengan cowok dihadapanya yang menjadi salah satu pasien dirumah sakit itu. "Bang, gue minta maaf. Beberapa hari yang lalu–" Laskar menjeda ucapanya. Laskar takut jika ia mengatakanya, lelaki dihadapanya itu akan marah kepadanya. 

Karantina (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang