Saat ini Abi sedang berada di dalam ruang operasi bersama para dokter bedah. Aku, umi, dan Radit menunggu di luar ruangan operasi. Ya, Radit masih setia menemani kami di rumah sakit, padahal sudah larut malam, dan kuyakini Radit pasti sudah lelah sekali. Terlihat dari wajahnya. Namun, dia tetap memilih berada di rumah sakit bersama aku dan umi.
Tiga jam lamanya aku duduk di ruang tunggu bersama umi. Umi terus memanjatkan doa-doa supaya operasi Abi berjalan dengan lancar. Aku ikut memanjatkan doa-doa dalam hatiku.
Tiga puluh menit berlalu. Satu dokter bedah keluar dari dalam ruangan operasi Abi. Dokter tersebut adalah Robi. Robi mengatakan, bahwa operasinya berjalan lancar. Kondisi Abi masih dalam keadaan dibius dan akan dipindahkan ke ruang rawat inap supaya dapat dipantau perkembangan abi untuk beberapa minggu ke depan.
Baik aku, umi, dan Radit. Kami saling mengucapkan syukur Alhamdulillah karena Allah telah mengabulkan doa-doa kami.
Aku lihat, pintu ruangan operasi dibuka. Bangsal Abi sedang didorong ke luar oleh para perawat yang ikut berada di ruangan operasi, menuju ruangan rawat inap. Robi pamit untuk melanjutkan tugasnya memeriksa pasien lainnya setelah selesai dari menangani Abi. Aku dan umi, begitu juga Radit, mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Robi pergi. Aku, umi, dan Radit pergi menyusul Abi ke ruangannya.
***
Jam menunjukkan pukul 02.00 WIB. Setelah melihat Abi di dalam ruangannya, aku ke luar bersama Radit. Umi masih berada di dalam menunggu Abi sadar, karena Abi masih belum sadar dari efek bius. Padahal, sudah lima belas menit yang lalu sejak Abi keluar dari ruangan operasi.
Aku duduk di bangku tunggu yang ada di depan ruangan rawat Abi. Radit ikut duduk di sebelahku dengan sedikit adanya jarak. "Radit, terima kasih karena telah menemani aku dan umi di rumah sakit. Aku sangat bersyukur kamu ada di sini. Maaf, aku banyak merepotkan kamu," ucapku tulus kepada Radit.
"Tidak masalah, Rahma. Tidak usah merasa sungkan seperti itu," katanya. "Oh iya, apa kamu sudah izin tidak kerja hari ini karena ayah kamu sedang sakit?"
Aku mengangguk. "Sudah."
"Baguslah. Tapi, Rahma. Setelah Abi kamu sadar, saya pamit pulang, ya? Kamu tidak apa-apa berdua dengan umi di rumah sakit?" tanyanya.
Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Radit. Aku sangat bersyukur kamu telah menemani aku dan umi mulai dari Abi masuk ke ruang operasi sampai dengan selesai. Terima kasih banyak, Radit." Aku tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih, karena aku memang sangat-sangat bersyukur dan berterima kasih Radit telah bersedia mengantar aku dan umi ke rumah sakit, bahkan sampai menemani.
"Oh iya, Dit. Aku boleh minta tolong?" kataku.
"Tolong apa?"
"Jangan beritahu soal Abi ke keluarga pak Ramdan, ya?" pintaku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Nggak apa-apa. Hanya saja, aku tidak ingin mereka tau."
"Maaf Rahma, saya tidak bisa melakukannya. Saat saya pulang nanti, paman pasti bertanya soal kepulangan saya yang sangat larut ini, mungkin bisa dikatakan pagi."
Aku mengangguk. Aku lupa mengenai Radit yang tinggal serumah dengan pak Ramdan. Aku juga lupa, bahwa Radit tidak bisa berbohong. Dan, tidak mungkin jika pak Ramdan tidak bertanya tentang Radit yang baru saja pulang di dini hari.
"Tidak apa-apa," kataku.
***
Abi sudah sadar sepuluh menit yang lalu. Keadaannya masih belum stabil, masih butuh pengawasan dari dokter. Radit pun sudah pulang sepuluh menit yang lalu setelah mengetahui Abi telah sadar. Kini, aku tinggal berdua dengan umi di dalam ruangan rawat inap Abi. Kulihat, jam di dinding menunjukan pukul 03.00 WIB. Aku pamit ke umi pergi ke masjid yang berada tidak jauh dari rumah sakit untuk salat tahajud.
Selesai melaksanakan salat tahajud. Aku pergi ke kantin untuk membeli makanan. Di kantin, aku melihat Robi sedang makan bersama dengan dokter lainnya. Aku ingin mengabaikannya, namun dia sudah terlanjur melihatku dan memanggilku. Aku lihat, dokter yang tadi bersama dengannya pamit pergi meninggalkan Robi sendiri. Lalu, Robi berjalan ke arahku, meninggalkan makanannya di meja.
"Kamu mau beli makanan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Biar saya belikan. Saya tau makanan mana yang enak di sini," katanya.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa aku katakan ke Robi karena bingung harus bereaksi seperti apa.
Aku memerhatikan punggung Robi yang sedang memesan makanan untuk diriku. Sepuluh menit menunggu, Robi kembali dengan makanan ditangannya. "Ini untuk kamu, dan yang ini untuk ibu kamu," katanya sambil memberikannya kepadaku.
Aku mengambilnya. "Terima kasih banyak," kataku. Keadaan di antara kami pun menjadi canggung. Aku memutar otak untuk mencari topik pembicaraan. "Kamu," kataku mulai bicara.
"Iya?"
"Kamu sudah selesai makannya? Bukankah kamu sedang menikmati makanan kamu?" tanyaku.
"Itu, saya sudah selesai, kok. Sebentar, saya ingin mengembalikan tempatnya dulu, ya? Kamu tunggu sini," katanya, lalu pergi mengambil tempat makannya dan membawanya ke tempat piring kotor. Anehnya, aku menunggunya sampai dia selesai. Robi pun kembali. "Yuk!" ajaknya. Kami pun berjalan bersama meninggalkan kantin.
"Kamu, sudah tidak bertugas di Surabaya?" tanyaku.
"Saya berhenti dan mendapatkan rekomendasi bekerja di sini," jawabnya.
"Sudah berapa lama kamu di Jakarta?" tanyaku lagi.
"Sekitar ... Dua minggu?" jawabnya. Aku mengangguk. "Oh iya, bagaimana kabar kamu selama satu bulan ini?" tanyanya.
"Ya, seperti yang kamu lihat sekarang," jawabku.
"Sibuk apa?"
"Kerja."
"Rahma, jujur saya tidak menyangka akan bertemu kamu di rumah sakit dengan situasi yang seperti ini," katanya.
Jujur, aku juga merasakan hal yang sama dengan Robi.
"Senang bisa bertemu kamu lagi. Saya yakin, kamu masih belum ingin berteman dengan saya. Jadi, jika kita bertemu lagi di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit, kita mulai berteman, ya?" katanya.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. "Baiklah."
Robi ikut tersenyum. "Tapi, Rahma. Selama beberapa minggu ini kamu akan terus bertemu dengan saya. Jangan bosen, ya?"
Aku tersenyum, lalu berkata, "Tidak akan."
Tanpa aku sadari, aku telah sampai di depan ruangan rawat Abi.
"Baiklah. Selamat menikmati makanan kamu, begitu juga dengan ibu kamu, ya? Saya akan lanjut bertugas lagi," katanya.
"Terima kasih banyak, dokter Robi." ucapku.
"Tidak masalah." Robi pun pergi.
Aku tersenyum sembari menggelengkan kepala. Aku tidak menyadari, kalau Robi hanya berniat mengantarku sampai ruangan rawat Abi, setelah itu pergi melanjutkan tugasnya memeriksa pasien lainnya. Aku kira, dia sekalian mau memeriksa kondisi Abi lagi, ternyata tidak. Dan, aku baru tahu, kalau Robi memiliki sisi manis seperti ini.
Astaghfirullah, Rahma. Tidak boleh terbuai. Robi hanya bersikap baik, dan itu wajar karena dia laki-laki baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu 2 ✔
Romance(PUBLIKASI ULANG/NEW VERSION) Ini lanjutan kisahku yang sempat terhenti. Setelah sekian lama aku tidak bertemu denganmu, mengapa takdir mempertemukan kita kembali? Aku berharap. Kisah lamaku dan hatiku untukmu sudah terhenti sejak itu, sejak kita me...