"Seandainya saja waktu itu saya lebih tegas lagi dalam menolak permintaanmu, Rahma. Mungkin kita akan jadi keluarga yang bahagia sampai saat ini dan kamu mungkin tidak akan merasa sakit untuk kedua kalinya," ucap seseorang yang telah berdiri di depanku dan melihatku sedang menangis.
Orang itu adalah pak Ramdan. Mengapa, dari sekian banyaknya orang yang aku kenal, teman yang tahu kisahku, harus pak Ramdan yang melihatku sedang menangis? Ataukah, aku harus bersyukur karena orang itu adalah pak Ramdan?
Aku segera menghapus air mataku. Mungkin sudah banyak sepasang mata menatapku dengan heran, tapi aku tidak terlalu mempedulikan orang-orang disekitar aku yang melihatku sedemikian. Lalu, pak Ramdan mengeluarkan sapu tangannya dari dalam saku celana dan memberikannya padaku. Entah apa yang aku pikirkan, aku menerima sapi tangannya dan menggunakannya.
"Ayo, biar saya antar pulang!" katanya.
"Tidak usah, pak. Saya bisa pesan ojek online." Aku menolaknya dengan halus.
"Hujannya sangat deras, Rahma. Kamu nggak usah keras kepala. Kamu juga tenang saja, saya membawa mobil dan tidak sendirian. Saya bersama Radit, dia sudah menunggu di mobil."
Aku beranjak dari tempat dudukku. Pak Ramdan membuka payungnya. Aku berdiri di sampingnya. Kami berjalan bersama-sama menuju mobil dengan satu payung, jadi mau tidak mau aku harus sedikit lebih dekat dengannya.
Pak Ramdan membukakan pintu mobil bagian belakang. Aku segera masuk ke dalam. Setelah itu, pak Ramdan masuk ke dalam mobil bagian depan, bagian pengemudi. Tidak lupa dia menutup payungnya dan melipatnya. Payungnya yang basah kuyup, dia letakkan begitu saja di dashboard mobil. Kemudian pak Ramdan menyalakan pemanas.
Jadi, Radit juga melihatku sedang menangis? Batinku. Karena jarak parkir mobil pak Ramdan dengan halte bus tidak begitu jauh.
Selama di perjalanan kami bertiga saling terdiam. Aku mengecek ponselku. Sudah pukul tujuh malam. Sebentar lagi adzan isya. Aku yang sedang berhalangan, jadi tidak melaksanakan salat.
Tiba-tiba pak Ramdan membelokan mobilnya ke arah masjid. Hujan sudah mulai reda. Pak Ramdan memarkirkan mobilnya di halaman masjid. "Kita salat isya dulu, ya. Sudah memasuki waktu adzan juga," katanya.
"Aku lagi sedang berhalangan. Jadi, aku tunggu di dalam mobil saja, boleh?" kataku.
"Tentu saja," jawab pak Ramdan.
Aku melirik Radit. Sedari tadi, lelaki itu terdiam. Tidak berbicara ataupun bertanya. Sebenarnya, apa yang disembunyikan oleh Radit? Mengapa dia hanya terdiam saja? Biasanya dia yang mengajak aku berbicara.
***
Tiga puluh menit menunggu. Aku melihat Radit berjalan ke arah mobil. Dia membuka pintu bagian depan, bagian penumpang. Aku melihat tangannya memegang dua gelas kertas yang entah isinya apa. Tapi, yang aku ketahui pasti masih panas karena asapnya yang masih mengepul.
"Ini," katanya sambil mengangsurkan satu gelas kepadaku. "Teh dari pak Ramdan. Usai salat, kami tadi ke toserba dulu," jelasnya.
Aku menerimanya. Tidak tega juga jika berlama-lama tangan Radit memegang gelas panas dengan tangan yang terulur. "Makasih," ucapku.
Kami pun kembali terdiam sampai pak Ramdan datang dan masuk ke dalam mobil. Dia juga membawa segelas kopi. Tercium dari aromanya yang menyeruak di dalam mobil.
"Kita habiskan dulu, ya, minumannya. Baru kita berangkat lagi. Saya akan mengantar kamu pulang lebih dulu," kata pak Ramdan ke aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu 2 ✔
Romantizm(PUBLIKASI ULANG/NEW VERSION) Ini lanjutan kisahku yang sempat terhenti. Setelah sekian lama aku tidak bertemu denganmu, mengapa takdir mempertemukan kita kembali? Aku berharap. Kisah lamaku dan hatiku untukmu sudah terhenti sejak itu, sejak kita me...