Bagian 6. Sangat Kacau

446 27 1
                                    

Selesai makan, anak-anak pergi main di kamarnya. Sisa lah aku berdua dengan pak Ramdan di ruang makan. Aku membereskan piring kotor bekas kami makan dan membawanya ke bak cuci piring untuk aku cuci.

"Biar saya saja yang cuci," ucap pak Ramdan sambil mengambil alih sarung tangan karet yang sedang aku pegang. Aku yang tidak ingin berdebat pun mengalah. Aku langsung berpindah tempat. Dari berdiri di depan bak cuci piring ke meja makan. Aku berniat membersihkan meja makannya.

Tiba-tiba pak Ramdan membuatku terkejut. Aku terkejut karena pak Ramdan tiba-tiba mengambil alih lap yang sedang aku pegang begitu saja. Bukan hanya itu saja, tangan kami yang tidak sengaja bersentuhan membuatku terkejut dan aku langsung menjauhkan diriku dari pak Ramdan.

"Biar saya saja, Rahma," katanya.

"Jika semua dilakukan oleh pak Ramdan, lalu Rahma ngapain?"

"Tadi kamu sudah memasak untuk saya dan anak-anak. Jadi, sekarang kamu duduk saja. Lagi pula kamu kan, tamu."

Aku terdiam. Tanpa banyak komentar, aku menurutinya saja. Pak Ramdan pun mulai mengelap meja. Selesai mengelap, pak Ramdan pergi mencuci piring. Yang aku lakukan, hanya memperhatikannya saja.

"Apa kamu masih merasa tidak nyaman saat berada di dekat saya?" tanya pak Ramdan yang masih sibuk mencuci piring.

"Sedikit."

Pak Ramdan terdiam. Dia telah selesai mencuci piring kotornya dan meletakkannya di rak piring. Kemudian, pak Ramdan duduk di bangku yang berhadapan denganku.

"Rahma," panggilnya. Suara pak Ramdan saat memanggilku terdengar sangat lembut. "Meskipun sudah enam tahun sejak kecelakaan itu. Saya tetap masih merasa bersalah. Jika bisa, saya ingin menebusnya, Rahma. Saya tau, kamu sudah memaafkan saya dan mengikhlaskannya. Tetapi, hati kecil saya terus merasa bersalah. Saya tidak bisa melakukan seperti apa yang kamu katakan. Bagaimanapun, kecelakaan yang terjadi di masa lalu, saya yang menyebabkan. Seharusnya, saya tidak bersikap kejam kepadamu."

Aku menggigit bibir bawahku. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menangis di hadapan pak Ramdan.

"Saya sangat menyesali kebodohan saya waktu itu. Saya yang tidak dapat bersikap adil dan egois, namun tetap menyalahkan kamu. Padahal, kamu yang telah berjuang untuk menyelamatkan pernikahan kita. Tetapi, saya malah menghancurkan segalanya. Rahma, kamu tau, dari dulu hingga sekarang, kamu adalah gadis kecil pilihan hati saya."

Aku melihat mata pak Ramdan yang berkaca-kaca. Air matanya terbendung dan tersirat kejujuran di sana. Tidak berani menatap mata pak Ramdan lama-lama, aku memutuskan untuk melihat ke lantai.

"Tidak bisakah kita memulainya dari awal?" kata pak Ramdan.

"Apanya yang harus dimulai dari awal, pak?" kataku. "Seperti yang pernah aku katakan dulu. Kecelakaan yang terjadi padaku, bukan salah pak Ramdan. Aku kehilangan bayiku juga bukan salah pak Ramdan. Itu semua salah aku yang tidak dapat menjaga bayiku dengan baik. Pak Ramdan sudah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan hubungan rumah tangga kita. Namun, karena sifat aku yang ke kanak-kanakan, semua hancur. Seharusnya aku lebih sabar lagi saat itu, saat menghadapi pak Ramdan. Dan seharusnya, aku yang lebih memahami kondisi pak Ramdan saat itu." Saat mengatakan itu semua, tanpa kusadari, air mataku telah mengalir.

"Aku, aku tidak tau harus berkata apa saat pak Ramdan berkata ingin menebus semua perbuatan pak Ramdan di masa lalu terhadap diriku. Karena yang telah terjadi dulu, tidak akan bisa ditebus oleh apapun. Semua sudah menjadi serpihan masa lalu. Seperti kaca yang pecah. Tidak dapat diperbaiki lagi, pak." Aku menangis sejadi-jadinya di hadapan pak Ramdan. Bukan ini yang aku inginkan ketika bertemu pak Ramdan. "Mengapa pak Ramdan harus membuka luka lama?" kataku sambil sesenggukan.

"Rahma?" Aku mendengar suara Radit memanggilku. Tetapi, aku tidak menghiraukannya. Aku tidak dapat menyembunyikan diriku yang sedang menangis dari siapapun. Terutama Radit. Sudah berapa kali Radit harus melihatku menangis. Aku terlihat sangat lemah sekali karena sering menangis ketika membahas masa lalu.

"Paman, mengapa paman harus membuka luka lama Rahma? Apa paman tidak tau berapa lama proses penyembuhan luka di hati Rahma?" sarkas Radit pada pak Ramdan.

"Ini urusan saya dengan Rahma. Kamu tidak perlu ikut campur walaupun kamu itu salah satu keluarga saya," kata pak Ramdan.

"Tapi, tidak seperti ini caranya. Dengan tidak membuat Rahma menangis!" ujar Radit dengan nada tinggi.

"KAMU BERANI MENINGGIKAN SUARA KE YANG LEBIH TUA DARI KAMU?"

"YA, SAYA BERANI. BIAR PUN PAMAN LEBIH TUA DARI SAYA, JIKA PAMAN MENYAKITI HATI SEORANG PEREMPUAN, TERUTAMA RAHMA. SAYA BERANI MELAWAN PAMAN!"

Terdengar suara pukulan begitu keras. Aku terkejut melihat Radit jatuh dilantai dan dari sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Untung saja anak-anak sedang berada di kamarnya, jadi mereka tidak melihat apa yang terjadi di ruang makan.

Aku yang melihat Radit bersiap untuk memberi balasan pukulan ke pak Ramdan segera menghentikannya. "Tidak Radit, jangan. Bagaimanapun pak Ramdan adalah paman kamu, Dit. Ingat, ada Ara dan Alfi di rumah ini. Jadi, tolong hentikan, ya?" kataku berusaha menenangkannya.

"Pak Ramdan juga. Ingat, di rumah ini ada anak-anak. Tidak baik bagi pak Ramdan melakukan perbuatan buruk. Bagaimana Alfi dan Ara melihatnya? Tolong tahan emosi pak Ramdan," kataku pada pak Ramdan.

"Ayo, Rahma. Biar saya antar pulang!" Radit berjalan lebih dulu meninggalkan ruang makan.

"Saya pamit pulang dulu, pak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku bergegas menyusul Radit. Tidak lupa aku mengambil tasku yang ada di bangku yang berada di ruang tengah.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang