Bagian 1. Radit

669 45 7
                                    

Pertama kali bertemu dengan Radit setelah lulus dari SMA adalah tiga tahun yang lalu di Amerika. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Radit di sana. Dia melanjutkan studinya di Universitas yang sama denganku. Selama satu tahun kami selalu bersama-sama, seperti ke kampus, ke kafe, dan ke tempat-tempat lainnya yang popular yang ada di sana. Sejak itulah kami menjadi lebih dekat satu sama lain. Selama tiga tahun dekat dengan Radit, tidak ada cerita mengenai pak Ramdan dan aku pun tidak pernah bertanya mengenainya.

"Mau mampir ke resto dulu, Ma? Kamu belum makan, kan?" ucap Radit.

"Boleh," jawabku.

Radit membawa mobilnya ke salah satu restoran dan menakutkannya di tempat parkir yang sudah disediakan. Kami sama-sama turun dari dalam mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran. Kami pergi ke arah meja dekat jendela yang kebetulan kosong dan tidak ada bacaan reservasinya.

Aku duduk di bangkunya, begitu juga Radit. Dia duduk di bangku yang bersebrangan denganku, sehingga kami saling berhadapan.

"Mau pesan apa?" Radit bertanya. Aku masih melihat-lihat buku menu.

"Aku mau pesan ini, ini, dan ini untuk minumannya," kataku sambil menunjuk gambar makanan dan minuman yang aku mau. Radit memanggil waiters untuk mencatat pesanan kami. Pesanan sudah dicatat, waiters pun sudah menyampaikan catatannya ke ruang masak.

"Dit, boleh aku tanya sesuatu?" kataku.

"Tanya apa?"

"Mengenai Yumna ...."

"Saya tolak." Radit memotong ucapanku. "Saya telah menolak lamaran dari Yumna."

"Kenapa? Apa kamu masih berharap denganku? Jika Yumna tau, hubunganku dengan Yumna pasti tidak akan baik-baik saja. Aku tidak mau hal itu terjadi."

"Yumna tidak akan pernah tau, Rahma. Kamu tidak perlu khawatir. Saya harap, kamu tidak pernah membahas ini lagi, ya?" ucapnya. Aku pun terdiam.

Satu tahun yang lalu, Radit datang menemui diriku dan mengajakku ke kafe. Usai makan, Radit melamarku. Bukan melamar secara formal, baru sekedar menyatakan perasaannya terhadapku dan niat baik dia yang ingin menikahiku. Jika aku menerimanya, dia akan datang bersama keluarganya untuk melamarku. Sayangnya, aku menolaknya. Bukan aku masih mengharapkan pak Ramdan, hanya saja aku masih belum siap untuk menjalani suatu hubungan.

Tujuh bulan kemudian, Yumna melamar Radit. Lamaran yang dilakukan oleh Yumna sama seperti yang dilakukan oleh Radit kepadaku. Akan tetapi, Radit menolaknya. Radit yang bercerita kepadaku karena Yumna belum bercerita atau memberitahu apapun kepadaku mengenai bagaimana ia melamar Radit dan ditolak oleh lelaki itu.

"Apa kamu berniat untuk kembali bersama dengan paman Ramdan?" Radit mengajukan pertanyaan di luar dugaan.

Aku terdiam.

"Saya terkadang penasaran dengan apa yang kamu pikirkan, Rahma. Kamu tidak pernah bertanya mengenai kabar paman, tapi terlihat dimata kamu, kamu ingin mengetahui tentangnya. Saya tau, kamu merasa terluka dengan semua yang dilakukan oleh paman dimasa lalu. Tapi, kamu tidak bisa membohongi perasaan kamu untuk paman. Rahma, jika kamu tidak ingin kembali kepadanya, bisakah kamu berusaha untuk membuka sedikit hati kamu untuk saya? Saya akan berusaha sebaik mungkin menjadi yang lebih baik dari paman."

Aku memilih untuk diam. Tidak lama kemudian pesanan kami tiba.

***

Radit mengantarku sampai rumah. Dia membantuku menurunkan barang-barang milikku dari dalam bagasi mobilnya. Saat kami tiba, umi sudah menunggu di depan pintu. Ketika melihatku, umi langsung menghampiriku dan memelukku dengan erat. "Umi sangat merindukanmu, nak," ucapnya.

"Rahma juga," kataku.

Umi menguraikan pelukannya dan menatap wajahku. "Kamu terlihat kurus, nak. Apa kamu tidak menjaga pola makan kamu selama di sana?" tanyanya dengan khawatir.

Aku tersenyum. "Aku menjaganya dengan baik, kok, umi. Begitu juga dengan kewajibanku, salat lima waktu."

"Alhamdulillah."

Radit menghampiri kami sambil membawa dua koper berukuran besar milikku.

"Terima kasih, nak Radit. Maaf sudah merepotkan kamu," kata umi.

"Tidak apa-apa, umi."

"Kalian sudah makan?" tanya umi.

"Sudah, kok, umi. Saat perjalanan pulang tadi sempat mampir makan dulu." Radit yang menjelaskan. "Kalau begitu, Radit pamit langsung pulang, ya, umi."

"Baiklah. Hati-hati, ya, nak. Sekali lagi terima kasih."

"Iya, umi." Radit menyalimi punggung tangan umi. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." jawabku bersamaan dengan umi.

"Hati-hati, Dit." kataku. Radit mengangguk.

Radit masuk ke dalam mobilnya. Aku dan umi menunggu mobil Radit keluar dari halaman rumah. Setelah mobil Radit pergi, aku dan umi masuk ke dalam rumah.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang