Bagian 14. Wanita Itu

338 26 7
                                    

"Assalamu'alaikum." Aku memberi salam sembari membuka pintu ruang rawat inap ayah. Aku melihat ada banyak orang di dalam sana selain umi dan abi. Di dalam, terdapat kak Zaki dan Yumna, lalu kedua orang tua pak Ramdan. Dan semuanya menoleh ketika aku membuka pintu. Kemudian, umi menghampiri kami. Aku dan Radit menyalami punggung tangan umi secara bergantian. Lalu, umi mengajak kami masuk, namun ditolak oleh Radit. "Sepertinya saya akan langsung pulang saja. Sudah banyak orang yang jenguk abi. Saya merasa tidak enak, takut menganggu," katanya.

"Nanti dulu, Radit. Karena kamu sudah di sini, setidaknya menyapa mereka dulu. Setelah itu, kamu boleh pulang," kata umi.

Radit mengangguk. Dia masuk terlebih dulu untuk salim pada kedua orang tua pak Ramdan dan juga abi. Aku berjalan di belakang Radit sembari diikuti umi.

"Kalian datang bersama? Di mana Ramdan?" tanya ibunya pak Ramdan. "Bukankah tadi dia bilang mau jemput Rahma?"

"Tadi sempat ada masalah, Bu. Kebetulan, Rahma kerja di tempat Radit kerja, jadi bisa pergi bareng ke rumah sakit," jawab Radit.

Ibunya pak Ramdan tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian Radit menghampiri abi untuk menyalaminya. "Semoga cepat sembuh, abi. Maaf Radit baru bisa menjenguk hari ini," katanya.

"Terima kasih banyak, ya, nak Radit." kata ayah dengan tulus.

Radit mengangguk. "Kalau begitu, Radit pamit dulu, ya, Abi, umi, Rahma, dan semuanya," katanya. Setelah berpamitan, Radit keluar dari ruangan, aku ikut ke luar untuk mengantar Radit.

"Terima kasih banyak, Radit. Hati-hati di jalan, ya?" kataku. Lagi-lagi Radit mengangguk sebagai jawaban.

Tidak lama setelah Radit pergi, Yumna menghampiriku sambil merangkul aku. "Ada masalah apa sama pak Ramdan?" tanyanya.

Aku menatap Yumna. "Tidak ada."

"Sekarang rahasia-rahasia, ya?" katanya sambil mencubit pipiku dengan gemas.

"Sakit tau!" kataku sambil meringis dan mengusap-usap pipiku yang habis dicubit olehnya. Bukan minta maaf, Yumna malah tertawa.

Lima detik kemudian, mimik wajah Yumna berubah menjadi serius sambil menatap lurus ke depan. Aku mengikuti arah tatapan Yumna. Tatapannya sedang ke arah wanita yang sedang berdiri tidak jauh dari depan lift sambil memainkan ponselnya.

"Kamu kenal sama wanita itu?" tanyaku sambil melihat ke arah Yumna.

"Sepertinya. Terasa familiar."

Aku melihat dokter Robi sedang berjalan ke arah ruang rawat inap ayah. Lalu, wanita yang sedang memainkan ponselnya tadi, memanggil dokter Robi dengan namanya. Aku mengernyitkan dahi, bertanya-tanya siapa wanita yang memanggil dokter Robi dan pergi menghampiri dokter Robi yang terdiam di tempatnya.

"Mereka terlihat sangat akrab. Apa wanita itu temannya Robi?" tanyaku.

"Aku baru inget, Rahma!" kata Yumna mengejutkanku.

"Ingat apa?"

"Dia mantan istrinya Robi," jawabnya. "Tapi, kenapa dia menemui Robi lagi, ya? Padahal mereka sudah putus komunikasi sejak lama."

Aku terdiam.

"Apa mungkin mereka mau rujuk? Ah, aku rasa tidak." kata Yumna lagi. "Astaghfirullah, Rahma maaf. Jangan cemburu, ya? Aku lupa kalau kalian saat ini sedang dekat."

"Aku tidak cemburu," jawabku dengan lugas.

***

Pada saat menjelang makan malam. Orang tua pak Ramdan pulang. Tidak lama setelahnya, kak Zaki dan Yumna pulang. Dokter Robi pun sudah selesai memeriksa kondisi abi. Katanya, karena kondisi abi kian lama kian membaik, jadi lusa abi sudah di perbolehkan pulang. Aku beserta umi turut senang mendengarnya. Kabar itupun sudah didengar oleh kak Zaki dan Yumna, kedua orang tua pak Ramdan, Radit, dan tentu saja pak Ramdan.

Saat ini, aku berniat ingin pergi ke kantin rumah sakit yang ada di lantai satu. Aku berdiri di depan lift seorang diri. Pintu lift terbuka, isi lift sedang kosong, jadi cepat datangnya. Ketika pintu lift hampir tertutup, kaki seseorang menghalaunya, pintu lift pun kembali terbuka. Aku melihat dokter Robi sudah berganti pakaian. Seingat aku, jam delapan bukanlah waktu pergantian sif dokter Robi.

Dokter Robi masuk dan pintu lift tertutup. Dokter Robi menekan tombol B yang merupakan basemen. "Mau pulang, dok?" tanyaku sekedar basa-basi.

"Iya. Kamu?"

"Kantin."

"Makan malam?"

"Iya."

"Ikut saya makan malam di luar, mau?"

Aku terdiam. Tidak tahu harus merespon apa karena terasa mendadak sekali. Pintu lift pun terbuka di lantai satu.

"Selamat menikmati makan malam kamu, ya?" kata dokter Robi. Aku mengangguk. Lalu melangkahkan kaki keluar dari lift.

Entah mengapa tiba-tiba aku memikirkan dokter Robi yang sudah pulang padahal belum waktunya pergantian sif. Lalu, aku teringat akan wanita tadi yang merupakan mantan istri dokter Robi. "Apa dokter Robi mau makan malam dengan mantan istrinya, ya?" gumamku.

Di kantin. Aku melihat teman-teman dokter Robi sedang mengobrol sembari menikmati kopi dan cemilan. Aku berjalan dengan cepat saat melewati teman-teman dokter Robi, aku tidak berniat menyapa mereka dan tidak ingin mereka menyapaku, karena kami tidak saling kenal dan tidak dekat.

Ketika melewati mereka, aku mendengar obrolan mereka yang sedang membicarakan tentang dokter Robi dan mantan istrinya.

"Pasti Robi saat ini sedang makan malam dengan mantan istrinya."

"Iya, pasti."

"Kok Robi mau, ya? Apa jangan-jangan mereka berniat rujuk?"

"Bisa jadi. Dulu kan, Robi sempat galau brutal gara-gara diceraikan mantan istrinya itu."

"Ngomong-omong, mantan istrinya makin cantik aja, ya?"

"Iya, ya? Pasti istrinya merasa nyesal tuh sudah menceraikan Robi."

"Iyalah. Robi kan laki-laki baik, setia, pengertian, dewasa, bertanggung jawab, terus nggak pernah macam-macam lagi."

"Intinya nggak ngecewain wanitanya, ya?"

"Iya. Justru dia yang dikecewakan. Kasihan."

Aku termenung sesaat. Jika dipikir-pikir lagi, ketika mendengar obrolan teman-temannya dokter Robi, mantan istrinya tidak jauh berbeda dengan diriku. Kami sama-sama yang menceraikan suami, bukan yang diceraikan. Jadi, jika seandainya dokter Robi dan aku bersama, berarti dokter Robi tidak beruntung mendapatkan seorang wanita yang seperti aku. Karena aku sama seperti mantan istrinya. Artinya, aku bukan wanita baik, aku akan mengecewakan laki-laki yang telah memilih aku.

"Makanannya sudah siap, kak."

Aku langsung tersadar dari lamunanku.

"Oh, iya, terima kasih." kataku sambil tersenyum.

Nggak, Rahma. Kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Belum tentu kamu dan dokter Robi bersama. Batinku.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang