Bagian 13. Robi dan Ramdan [bagian 2]

360 28 3
                                    

Rasanya begitu sesak berada di satu ruangan dengan pak Ramdan, meskipun ada abi juga di ruangan yang sama, entah mengapa aku tetap merasa begitu. Padahal, aku sama sekali tidak membenci pak Ramdan. Tetapi, entah mengapa, aku selalu kembali mengingat kejadian di masa lalu jika melihat pak Ramdan, dan rasanya aku ingin menangis. Bukannya aku belum sepenuhnya mengikhlaskan kejadian masa lalu, hanya saja aku masih belum melupakannya. Jujur, aku merasa bahwa pak Ramdan sangatlah egois, tidak memikirkan perasaanku. Sudah lama kami berpisah dan tidak pernah bertemu, sekalinya bertemu, pak Ramdan selalu membahas masa lalu, kemudian datang ke rumah untuk melamar aku.

Tidak tahan melihat pak Ramdan berlama-lama, aku memutuskan pergi ke luar ruangan rawat inap ayah. Aku duduk di bangku tunggu sembari menunggu umi. Di saat seperti ini, aku bertanya-tanya dalam hati, seperti bisakah aku membuka hati untuk orang baru, dapatkah aku merasakan kebahagiaan dari pernikahan. Terkadang, aku suka iri dengan kehidupan orang lain yang terlihat bahagia dan harmonis.

Ya, aku tahu, tidak semua yang terlihat bahagia dari luar, akan bahagia juga di dalamnya. Namun, tetap saja aku merasa iri dengan mereka yang bahagia saat menjalani kehidupan rumah tangga. Wanita lain terlihat sangat dijadikan ratu oleh pasangan mereka.

"Sedang apa kamu di luar sendiri, Rahma?" Aku melihat umi sudah kembali. "Ramdan masih di dalam?" Aku hanya mengangguk. Kemudian, umi duduk di sampingku.

"Umi, Rahma pulang dulu, ya? Rahma mau siap-siap berangkat kerja."

"Kenapa tidak cuti saja?"

"Rahma merasa tidak enak, umi. Baru saja bekerja masa sudah ambil cuti saja?"

"Tapi kamu belum tidur dari semalem, kamu habis begadang."

"Rahma bisa tidur saat di perjalanan, kok."

Melihat aku yang kekeuh ingin berangkat kerja. Umi pun mengangguk, membiarkan aku pergi tanpa mempertanyakan alasanku yang tiba-tiba ingin berangkat kerja. Padahal, semalam aku sudah izin untuk tidak masuk kerja setengah hari dan sudah mendapatkan izin dari atasanku. Bahkan atasanku menyuruhku untuk tidak masuk bekerja hari ini.

***

"Lho, Rahma. Saya kira kamu hari ini tidak bekerja," ucap Radit ketika melihatku berada di kantin bersama dengan temanku yang satu ruangan. Aku tidak menyahuti perkataan Radit, aku menanggapinya dengan senyum tipis. "Kamu marah dengan saya karena saya beritahu paman Ramdan?" katanya.

Aku mendengar teman-temanku berbisik bertanya mengenai siapa Ramdan karena mendengar perkataan Radit.

"Kita bicara nanti saja saat pulang kerja," kataku dengan singkat, lalu pergi meninggalkan kantin dan temanku yang lainnya. Sebenarnya aku lapar, tapi aku sudah terlanjur malas dan tidak ingin membahas pak Ramdan lebih lanjut di depan teman-temanku.

***

Sepulang kerja, saat aku keluar dari kantor, aku melihat mobil yang tidak asing terparkir. Kemudian, kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok pak Ramdan. Aku terkejut melihatnya berada di sini. Lalu, aku melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti sembari tidak menghiraukan keberadaannya.

Ketika aku melewati mobilnya, pak Ramdan memanggilku. Aku menghentikan langkahku. Sebenarnya, bisa saja aku pura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan. Namun anehnya, hatiku menyuruhnya untuk berhenti, dan kakiku menurutinya begitu saja. Pak Ramdan keluar dari mobilnya.

"Saya antar," katanya. Aku melihat ke belakang pak Ramdan. Di sana ada temanku, begitu juga dengan Radit. Kebetulan yang sangat kebetulan sekali.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang