Bagian 7. Dijodohkan

462 28 0
                                    

Hampir setengah jalan menuju rumahku, baik diriku maupun Radit, saling terdiam. Aku terdiam karena merasa canggung. Menangis disaksikan oleh Radit hari ini adalah yang pertama, sebelumnya aku selalu menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya ke orang lain, kecuali pak Ramdan. Jadi, aku tidak tahu harus mengatakan apa ke Radit. Aku harap, tidak akan ada hari lainnya bagi Radit untuk melihat diriku yang sedang merasa terpuruk.

"Rahma," panggilnya tanpa melepaskan pandangannya dari jalanan yang ada di depan.

"Ya?"

"Saya minta maaf. Seharusnya saya tidak membiarkan kamu datang ke rumah paman."

Aku terdiam. Karena aku terdiam, Radit ikut terdiam. Kami pun kembali saling terdiam sampai akhirnya tiba di rumahku.

Saat aku melepaskan sabuk pengaman, Radit berdehem. Aku menatap Radit dan menunggunya berbicara. "Saya akan melupakan kamu yang menangis hari ini," katanya.

"Terima kasih." Hanya itu yang bisa aku katakan. Setelah itu, aku turun dari mobil Radit. Tanpa mengatakan hal lain lagi, Radit pergi dari hadapanku dengan mobilnya. Mobil Radit sudah tidak terlihat lagi, aku pun masuk ke dalam rumah.

"Baru pulang?" tanya umi. "Kamu pergi ke mana? Sudah makan?"

"Maaf, umi. Rahma lelah. Rahma pergi ke kamar dulu mau istirahat," kataku.

"Baiklah."

Mungkin umi merasa heran dengan sikapku yang tidak seperti biasanya. Karena perubahan sikapku, aku yakin, umi pasti merasakan aku sedang ada masalah, sedang tidak baik-baik saja. Namun, umi membiarkan aku sendiri untuk menenangkan diri. Aku sangat berterima kasih dengan umi yang sangat mengerti dan memahami aku. Padahal, aku sebagai anaknya, tidak selalu mengerti dan memahami umi.

Di kamar. Aku langsung merebahkan seluruh badanku di atas kasur. Rasanya begitu lelah sekali. Padahal, yang hanya aku lakukan hanya memasak dan pergi ke pasar bersama si kembar.

"Sebenarnya, apa yang diinginkan oleh pak Ramdan?" gumamku.

Suara dering telepon dari dalam tasku terdengar. Aku mengambil tasku yang berada tak jauhku dariku dengan tangan, tanpa berniat menggeser badanku sedikitpun. Setelah berhasil menggapai tasku, aku segera mengeluarkan handphone dan melihat nama yang tertera di layarnya.

Yumna?

Aku segera menggeser panel hijau. "Assalamu'alaikum, Yum. Ada apa?" kataku.

[Wa'alaikumussalam. Sore nanti sibuk?]

"Kenapa?"

[Datang, ya, ke rumah? Nanti aku kirimin alamatnya. Harus datang! Enggak mau tau!]

"Ada acara apa sih, wahai pengantin baru?"

[Pokoknya datang aja. Awas kalau sampai tidak datang! Aku tutup, ya? Assalamu'alaikum.]

"Wa'alaikumussalam." Yumna menutup panggilan. Aku mengerutkan kening sambil menatap layar handphone yang sudah mati. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Jika Yumna sudah berkata seperti itu, pasti ada hal yang tak terduga. Aku harus waspada nanti.

***

Rumah baru kak Zaki terlihat sederhana namun luas. Aku sedang duduk sendiri di ruang tamu, sedangkan Yumna berada di dapur membuat minuman untuk diriku. Kemudian, aku mendengar suara ketukan pintu. Aku melihat ke dalam, berharap Yumna mendengarnya, namun ternyata tidak. Suara ketukan pintu terdengar kembali. Aku berdiri, berniat membukakan pintu.

"Assalamu'alaikum." Laki-laki itu memberi salam dengan sopan ketika pintu terbuka dan melihat diriku yang membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam. Siapa, ya?" tanyaku.

"Yumna ada?" Laki-laki itu balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Oh, tamunya Yumna.

"Ada. Silakan masuk." Aku mempersilakan tamu Yumna masuk ke dalam. Tidak lama laki-laki itu masuk ke dalam, Yumna datang sambil membawa baki yang berisi tiga gelas minuman dan dua toples makanan ringan.

"Robi. Akhirnya kami datang." Yumna berseru senang, lalu memeluk laki-laki itu. Aku terkejut melihat Yumna yang tiba-tiba memeluk laki-laki yang bukan mahramnya terlebih lagi tidak ada kak Zaki, hanya ada aku saja. "Lo jangan mikir yang aneh-aneh!" ucap Yumna membuatku sedikit terkejut, seolah-olah Yumna tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Dia ini, sepupu jauh gue," jelas Yumna.

"Pantes aja, aku nggak pernah denger namanya," ucapku. Dulu, setiap kali habis bertemu dengan keluarga besarnya, Yumna sering menceritakan sepupu-sepupunya yang sebaya dengannya juga yang lebih tua darinya.

"Duduk, Rob, Ma," kata Yumna tidak menanggapi perkataanku.

"Jadi, kenapa kamu nyuruh aku ke sini, Yum?" tanyaku langsung ke intinya.

"Diminum sama dimakan dulu, sih."

"Jadi, ini yang namanya Rahma, yang ingin lo kenalkan ke gue?" tanya Robi.

Aku melihat ke arah Robi dan Yumna bergantian. "Apa maksudnya?" tanyaku.

"Gini, Rahma. Gue punya niat baik buat ngenalin lo ke cowok lain supaya nggak mikirin pak Ramdan terus. Gue juga udah cerita hal ini ke kakak lo, kak Zaki, dan dia setuju." jelas Yumna. "Selain itu, Robi ini sepupu gue. Walaupun nggak deket banget, tapi gue kenal dia dengan baik, kok. Bukannya gue mau bagus-bagusin dia, Ma. Jangan salah paham. Nanti dikiranya, karena Robi sepupu gue, gue malah bagus-bagusin dia. Gue jelasin ini dulu ke lo supaya, ya, nggak salah paham. Ngerti kan, maksud gue?"

Aku hanya mengangguk. Sejujurnya aku sedikit tidak suka bila dijodohkan seperti ini. Aku risih. Secara tidak langsung, maksud dan tujuan Yumna menyuruhku datang adalah untuk menjodohkan kami berdua.

"Robi orangnya baik. Dia juga pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan. Dia juga lebih tua dari lo, beda tiga tahun. Selebihnya, lo bisa langsung tanya sendiri aja ke orangnya," kata Yumna lagi.

Aku melihat ke Robi sebentar. Aku tidak peduli dengan seberapa baik dia dan tidak ingin tahu mengenai kegagalannya dalam hubungan seperti yang dikatakan oleh Yumna. Saat ini, yang kupedulikan adalah diriku sendiri. Aku masih belum siap untuk memulai hubungan baru dengan orang lain. Aku yakin, karena Robi pernah mengalami kegagalan juga, pasti dia juga merasa belum siap untuk memulai suatu hubungan.

"Saya Robi. Saya seorang dokter di salah satu rumah sakit yang ada di Surabaya. Saya ke sini karena permintaan Yumna. Senang bertemu dengan kamu, Rahma. Semoga kita bisa menjadi teman ke depannya," katanya sambil mengulurkan tangannya.

Aku menangkupkan tanganku di depan dada. "Maaf," kataku. Aku melihat Robi tersenyum. Bukan senyum marah karena aku menolak untuk berjabat tangan. Tapi, benar-benar senyum yang senang, juga sedikit malu. Namun, tidak marah. Dimatanya juga tidak terlihat ada sirat marah.

"Semoga kita dapat menjadi teman, ya?" kata Robi yang sepertinya tahu kalau aku menolak permintaannya yang ingin menjadi temanku.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang