Sudah berapa kali aku berdecak kagum melihat rumah yang aku yakini rumah pak Ramdan karena banyak foto anak-anak pak Ramdan, mulai dari bayi sampai sebesar sekarang. Aku juga melihat foto keluarga kecil milik pak Ramdan yang dicetak berukuran besar dan diberi bingkai dengan model unik yang ditempel di ruang tengah.
Aku memperhatikan senyum pak Ramdan dan bu Arum. Aku membayangkan betapa bahagianya mereka berdua hidup bersama dengan kedua anak mereka.
Jika dibilang iri, tentu saja. Mana ada orang yang saat melihat sebuah keluarga bahagia tidak iri dan menginginkan hal yang sama? Namun, kita tidak boleh iri atau syirik dengan kebahagiaan orang lain. Karena setiap manusia telah diberikan porsi kebahagiaannya masing-masing oleh Allah.
Selain banyaknya foto yang terpajang di setiap sudut ruang tengah. Banyak barang antik yang juga terpajang rapi di dalam sebuah rak dan semuanya tampak mewah. Berbeda sekali dengan rumah yang pernah kami tempati dulu. Padahal, baru enam tahun kami berpisah, tetapi sudah banyak sekali yang berubah.
"Tante Rahma?" Alfi memanggilku sambil menarik lengan bajuku.
"Ya?" Mungkin aku terlalu fokus dengan dekorasi rumah pak Ramdan, jadi mereka merasa tidak diperhatikan olehku. "Oh iya, kalian sudah sarapan?" tanyaku.
"Sudah. Tadi ayah membuat roti panggang untuk kami." Alfi yang menjawab. Ara tampak malu untuk berbicara dengan aku, yang merupakan orang baru baginya.
"Roti saja tidak akan membuat kalian kenyang. Biar tante Rahma masakin, ya?" kataku. "Kalian bisa kasih tau di mana dapurnya?"
Tiba-tiba Ara menggenggam tanganku dan menariknya. Ia membawaku ke dapur. Sesampainya di dapur, Ara melepaskan genggamannya dan berlari keluar dari dapur. Padahal, baru saja aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Mau Alfi bantu, tante?"
"Tidak usah Alfi. Terima kasih. Alfi bermain saja dengan Ara, ya? Tante bisa, kok." Setelah aku mengatakan itu dengan senyum. Alfi tersenyum, lalu pergi menyusul Ara.
Setelah itu, aku membuka kulkas dan melihat isi kulkas yang ternyata tidak ada isinya sama sekali. Hanya air putih saja, tidak ada sayur-sayuran atau bahan lainnya yang dapat dimasak. "Dasar pak Ramdan," gumamku sembari menutup pintu kulkas. Kemudian, aku melihat pemanas nasi. Aku berinisiatif untuk memasak nasi terlebih dulu. Jika sudah ada nasi, maka selebihnya akan lebih mudah, tinggal pesan menu saja atau bisa memasak mie jika pak Ramdan memiliki persediaan mie.
"Untung saja ada banyak persediaan nasi. Pasti pak Ramdan dan Radit lebih sering pesan makanan cepat saji," kataku berbicara dengan diri sendiri.
Lima belas menit telah berlalu. Aku masih berada di dapur. Lalu, Ara dan Alfi kembali. "Kenapa tante Rahma belum masak? Katanya, mau masak?" kata Alfi.
"Tante minta maaf, ya. Tante cuma bisa masak nasi aja karena cuma ada beras. Tidak ada sayur atau bahan lainnya yang bisa tante masak," jelasku.
"Kita pergi ke pasar, yuk, tante?!" ujar Ara.
"Ke pasar?" kataku. Ara dan Alfi mengangguk. "Kalian mau ikut ke pasar? Memangnya tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, tante. Dulu, bunda juga sering ajak kami ke pasar." Ara yang menjawab.
"Iya, tante. Di pasar, bunda suka beliin kami kue serabi," kata Alfi.
Aku tersenyum. "Baiklah. Kalau begitu, kita pergi ke pasar. Nanti tante beliin kalian kue," ucapku. Ara dan Alfi pun bersorak kegirangan. Aku tertawa melihat tingkah mereka. Sangat lucu.
***
Aku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang makan. Sudah jam dua belas lewat tiga puluh menit. Lauk pauk beserta nasi sudah aku siapkan di atas meja. Ara dan Alfi sudah duduk di bangku mereka masing-masing. Aku duduk di dekat Ara. Saat ini, kami sedang menunggu pak Ramdan pulang mengajar. Kata Alfi, biasanya ayahnya pulang jam setengah satu siang. Dan sekarang sudah pukul 12.30, seharusnya pak Ramdan sudah sampai di rumah.
"Ara, Alfi. Kalau kalian sudah lapar, kalian boleh makan duluan. Nggak apa-apa, kok. Ayah kalian pasti ngerti," kataku merasa kasihan dengan si kembar, takut mereka sudah sangat lapar.
"Tidak tante. Kami ingin menunggu ayah pulang dan makan bersama. Sudah lama kami tidak makan bersama," kata Alfi.
"Iya. Ara sudah lama tidak melihat makanan sebanyak ini di meja makan," sahut Ara.
"Baiklah."
Suara seseorang memberi salam terdengar dari arah ruang tengah. Alfi dan Ara turun dari bangku dan berlari menuju ruang tengah untuk menghampiri ayahnya yang baru saja pulang. Mau tidak mau, aku harus ikut mereka ke ruang tengah.
"Rahma. Kamu masih di sini? Saya kira, kamu sudah pulang?" ucap pak Ramdan. Aku menggeleng.
"Ayah, ayo cepat, Ara sudah lapar. Tante Rahma sudah masak buat kita makan siang," ucap Ara sambil menarik lengan ayahnya.
"Tadi kami juga pergi ke pasar untuk beli bahan makanan," imbuh Alfi.
"Iya. Tante Rahma juga beliin kami jajanan. Pokoknya, tadi seru banget, deh. Kayak bunda saat ajak kami ke pasar yah," kata Ara.
"Lain kali kita pergi ke pasar bareng tante Rahma, ya, ayah?" kata Alfi.
"Iya. Kalau tante Rahma tidak sibuk, lain kali kita akan pergi ke pasar," jawab pak Ramdan. Alfi dan Ara pun bersorak kegirangan.
"Pak Ramdan," panggilku.
"Iya?"
"Karena pak Ramdan sudah pulang. Rahma pamit, ya?" kataku.
"Jangan dong, tante Rahma. Kita makan bareng dulu aja," ujar Alfi yang disetujui oleh Ara. "Ayolah, tante!" rengek Alfi sambil menggenggam lenganku.
"Turuti saja, Rahma. Nanti saya antar kamu pulang."
Jujur, aku merasa sedikit tidak nyaman. Namun, aku tidak berani untuk menolak karena anak-anak yang meminta. "Baiklah," jawabku. Kami pun makan bersama-bersama bagaikan sebuah keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu 2 ✔
Romance(PUBLIKASI ULANG/NEW VERSION) Ini lanjutan kisahku yang sempat terhenti. Setelah sekian lama aku tidak bertemu denganmu, mengapa takdir mempertemukan kita kembali? Aku berharap. Kisah lamaku dan hatiku untukmu sudah terhenti sejak itu, sejak kita me...