Extra Part

277 19 0
                                    

Sebelumnya kedua orang tua Radit tinggal bersama Radit di rumah yang dibeli oleh Radit sekitar satu tahun yang lalu. Namun kini, kedua orang tuanya tinggal di rumah kedua orang tua pak Ramdan bersama dengan mereka. Kebetulan rumah kedua orang tua pak Ramdan sepi. Kedua anaknya telah memiliki rumah masing-masing dan memiliki keluarga.

Acara resepsi pernikahanku telah selesai dilaksanakan satu minggu yang lalu. Jadi, bisa dikatakan ini sudah menjadi minggu kedua aku menjadi istri sahnya Radit. Sebelumnya aku pikir telah mengenal Radit sepenuhnya, ternyata belum. Banyak yang tidak aku ketahui tentangnya.

Radit orang yang sangat rapi, lebih rapi dibanding pak Ramdan. Saat tidur pun, dia sangat tenang. Aku juga baru tahu makanan kesukaannya, bahkan aku baru tahu parfum yang selalu digunakan olehnya. Selain itu, Radit menyukai suasana yang klasik, terlihat dari dekorasi rumahnya. Dia juga memiliki tanaman hias yang dia rawat seorang diri. Tanaman hiasnya berada di halaman belakang, walaupun halaman belakangnya tidak begitu luas. Tapi, cukup untuk dijadikan tempat menaruh tanaman hiasnya.

Sabtu pagi, usai salat subuh, kami pergi membeli sarapan di warung nasi uduk yang tidak jauh dari rumah. Selesai sarapan, aku membantu Radit merawat tanaman hiasnya. Kebetulan, cucian piring motor sedang tidak ada, dan baju motor sedang aku rendam sebelum aku cuci dengan mesin cuci.

"Kalau kamu capek, kamu istirahat saja, Rahma. Biar aku yang menyelesaikan sisanya," katanya.

"Benar, nih?"

"Iya, sayang," ucapnya yang langsung membuat pipiku merona merah. Aku salting, alias salah tingkah, setelah dipanggil sayang olehnya.

Aku duduk dibangku kayu yang tidak jauh dari tempat tanaman hias. Aku memperhatikan punggung lelaki yang sedang sibuk membuang daun yang sudah mati, kemudian memberinya pupuk, lalu menyiraminya dengan air. Jika aku perhatikan lagi, ternyata suamiku ganteng juga saat sedang melakukan aktivitas yang positif dengan menggunakan pakaian santai, baju putih lengan pendek dan celana pendek selutut.

Pipiku kembali memanas, merona merah.

"Kamu sakit?" tanya Radit ketika melihat ke arahku.

Aku menggeleng.

"Bohong. Itu pipi kamu merah," katanya. Dia pun menyelesaikan kegiatannya dan menghampiriku.

Radit memeriksa suhu tubuhku dengan menempelkan punggung tangannya di dahiku. "Enggak panas, kok," katanya.

"Apa sih, Dit. Kan, aku udah bilang, kalau aku nggak sakit."

"Tapi, pipi kamu merah."

Radit duduk di sampingku. "Kalau kamu sakit atau kenapa-kenapa, bilang aja langsung sama aku, ya? Kan, aku udah janji buat jaga kamu, menyayangi kamu, dan mencintai kamu," katanya yang lagi-lagi membuat aku tersipu.

"Gombal," kataku sedikit bercanda untuk menghilangkan sedikit rasa malu.

"Bener, lho. Aku nggak gombal, sayang."

"Ih, jangan panggil sayang-sayang gitu," protesku.

"Kenapa? Kan kamu istri aku yang paling aku sayang," katanya.

"Tuh kan, gombal." kataku dengan salting sembari memukul lengannya pelan.

"Sekarang aku paham," katanya.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang