Mobil Radit terparkir di depan gerbang rumahku. Aku turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih ke Radit. Radit membuka kaca mobil bagian depan untuk penumpang. "Salam untuk umi dan abi, ya? Bilang ke mereka, saya langsung pulang, tidak mampir."
Aku mengangguk. "Iya. Hati-hati di jalan, ya, Dit? Sekali lagi terima kasih."
"Iya, Rahma." Radit menutup kembali kaca mobilnya dan menjalankan mobilnya. Aku menunggu hingga mobil Radit tidak terlihat dari pandanganku.
"Rahma." Suara yang sangat familiar bagiku memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati pak Ramdan seorang diri. Aku sangat terkejut.
"Tadi itu, Radit?" tanyanya.
"Pak Ramdan sedang apa di rumah umi?" Aku balik bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan pak Ramdan.
"Silaturahmi," jawabnya singkat padat. "Sejak kapan kamu dan Radit menjadi dekat?"
Mengapa aku merasa sedang diinterogasi oleh pak Ramdan?
"Pak Ramdan, Rahma masuk dulu ke dalam, ya? Pak Ramdan mau ketemu sama Abi, kan? Masuk saja, Abi ada di dalam. Nanti Rahma panggilkan," kataku berusaha menghindari pak Ramdan sebisa mungkin.
"Saya ingin bicara dengan kamu," katanya.
"Sudah malam, pak." jawabku. Lalu, aku berjalan melewati pak Ramdan. Baru selangkah aku melewatinya, pak Ramdan menahan tanganku.
"Saya ingin bicara dengan kamu. Apa tidak bisa?" ucap pak Ramdan sambil melepaskan genggamannya dari tanganku. "Saya minta maaf karena sudah lancang."
"Iya."
"Saya tau, saya tidak berhak mengatakan ini ke kamu. Namun, saya akan tetap mengatakannya. Mengapa kamu menghindari saya, Rahma? Apa kamu tidak bisa bersikap biasa saja ketika bertemu dengan saya?"
Aku merasakan panas di mataku. Aku berusaha untuk tidak menangis di depan pak Ramdan. Tetapi, aku gagal, air mataku telah terbendung begitu saja. Pasti, pak Ramdan telah melihat mataku yang berkaca-kaca.
"Empat tahun. Apa tidak cukup untuk menghindari saya, Rahma?" katanya. Aku menunduk untuk menyembunyikan air mataku yang mulai menetes karena tidak dapat menahannya lagi.
"Sudah malam, pak. Tidak baik malam-malam sedang berdua dengan yang bukan mahramnya," kataku dengan suara yang sedikit bergetar. "Saya juga lelah. Saya sedang tidak ingin membahas masa lalu."
Pak Ramdan terdiam.
Karena tidak mendapat tanggapan lain dari pak Ramdan. Aku memutuskan untuk meninggalkan pak Ramdan seorang diri di depan rumah.
Rasanya sungguh sangat menyakitkan ketika melihat pak Ramdan. Luka lama yang telah berhasil aku tutup, dalam sekejap langsung terbuka begitu saja. Kenang-kenangan buruk dimasa lalu kembali menghantuiku. Mulai dari sikap pak Ramdan yang berubah kepadaku, perkataan kasarnya, bahkan tega mengusirku karena kesalahpahaman sampai aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan diriku kehilangan bayiku.
Aku yang tidak sanggup lagi menahannya. Aku pun menangis di balik gerbang rumah yang sudah aku tutup dan kunci supaya pak Ramdan tidak dapat masuk. Aku menutup mulutku dengan telapak tanganku sendiri supaya tangisku tidak dapat didengar oleh siapapun, termasuk pak Ramdan. Karena aku yakin, pak Ramdan masih berada di luar gerbang, belum pulang.
"Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja, mas Ramdan?" ucapku sambil sesenggukan.
***
Pagi ini Radit meminta tolong kepadaku. Ia menyuruhku untuk datang ke alamat rumah yang ia kirimkan melalui pesan. Aku telah sampai di depan sebuah rumah yang lumayan besar. Aku sesaat ternganga ketika melihatnya. Aku juga berdecak kagum.
Kemudian, aku menelepon Radit untuk memberitahunya kalau aku sudah sampai di depan sebuah rumah besar, sesuai dengan alamat yang diberikan olehnya. Selesai menelepon Radit, gerbang rumah itu terbuka secara otomatis. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam. Aku berdecak kagum untuk kedua kalinya. Halaman rumahnya begitu luas, dipenuhi dengan tanaman hias dan bunga. Lalu, aku melihat sosok Radit sedang melambaikan tangannya. Ia terlihat sudah sangat rapi sekali.
"Mau ke mana kamu sudah rapi banget?" tanyaku.
"Assalamu'alaikum, Rahma." Radit memberi salam.
"Wa'alaikumussalam. Maaf, aku lupa memberi salam."
Radit tersenyum. "Tidak apa-apa."
"Dit, udah siap?" Aku melihat ke arah sumber suara. Aku melihat pak Ramdan sudah berpakaian rapi sama seperti Radit. "Rahma?" katanya yang terlihat terkejut ketika melihat keberadaan diriku.
"Paman, untuk sementara Rahma yang akan menjaga Alfi dan Ara," kata Radit yang membuatku sedikit bingung. "Saya minta tolong kamu untuk jagain si kembar, ya? Pagi ini saya ada rapat, dan paman harus mengajar. Tidak apa-apa, kan, Rahma?"
"Tidak usah, Rahma. Saya akan membawa anak-anak ke rumah kakek dan neneknya. Kamu bisa pulang dan melanjutkan kesibukan kamu," ucap pak Ramdan.
"Ayah." Kedua anak pak Ramdan keluar dari dalam rumah. Aku melihat si kembar yang telah tumbuh menjadi anak-anak. Waktu itu, aku melihat mereka masih bayi, itupun melalui foto yang dikirimkan oleh bu Arum sebelum kami benar-benar putus komunikasi.
"Ayah, ayah mau berangkat, ya? Om Radit juga? Hati-hati, ya?" ucap Alfi.
"Iya, hati-hati, ya?" ucap Ara.
"Iya, sayang." Pak Ramdan mencium pipi kedua anaknya secara bergantian.
Aku tersenyum. Aku senang melihat pak Ramdan yang sangat menyayangi anak-anaknya. Andai saja, anakku masih hidup. Pasti anakku seusia Alfi dan Ara. Ayahnya pasti akan sangat menyayanginya juga.
"Bagaimana Rahma?" tanya Radit. "Untuk hari ini saja. Bisa, kan?"
Aku mengangguk. "Iya, bisa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersanding Denganmu 2 ✔
Romansa(PUBLIKASI ULANG/NEW VERSION) Ini lanjutan kisahku yang sempat terhenti. Setelah sekian lama aku tidak bertemu denganmu, mengapa takdir mempertemukan kita kembali? Aku berharap. Kisah lamaku dan hatiku untukmu sudah terhenti sejak itu, sejak kita me...