Bagian 8. Sedikit Kisah Dari Robi

423 27 2
                                    

Satu jam lamanya kami bertiga mengobrol. Aku pamit pulang pada Yumna. Namun, Yumna memintaku untuk ikut makan malam sembari menunggu kak Zaki pulang. Aku melihat Robi. Dia tampak santai, tidak canggung, berbeda sekali dengan aku yang mungkin terasa sekali canggung dan sedikit tidak nyaman. Jika aku tahu, aku tidak akan datang saat Yumna menyuruhku datang.

"Aku tinggal masak untuk makan malam nanti, ya?" ujar Yumna padaku dan Robi. "Kalian berdua bisa lanjut mengobrol," katanya lagi.

Robi melihat ke arahku. Aku hanya meliriknya, lalu melihat Yumna. "Biar aku bantu masak, ya, kakak ipar?" kataku sengaja menyebut Yumna dengan sebutan kakak ipar.

Yumna terkekeh. "Sejak kapan kamu bersikap manis seperti itu?" katanya. Aku tercengang. "Mentang-mentang ada Robi, jadi bersikap manis kayak gitu," ledeknya. Aku tercengang untuk yang kedua kalinya.

Bagaimana bisa Yumna jadi semenyebalkan ini?

"Ya udah, gue tinggal masak dulu, ya?" kata Yumna lagi. Dia pun pergi ke dapur meninggalkan aku berdua dengan Robi di ruang tamu.

Ketika Yumna sudah pergi ke dapur. Kami saling terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan dengan Robi. Mungkin, Robi juga merasakan apa yang aku rasakan.

Tidak terasa tiga menit telah berlalu. Kami masih saling terdiam. Sesekali kami saling meneguk air kami untuk membasahi kerongkongan kami yang terasa kering karena terdiam. Aku melirik Robi sesekali. Dia tampak biasa saja. Kemudian, terdengar dering telepon yang berasal dari handphone milik Robi. Sebelum menerima panggilan telepon, dia izin padaku untuk mengangkatnya. Aku mengizinkannya. Robi pun bangun dari duduknya dan pergi ke luar.

Aku memainkan jari-jariku karena merasa bosan. Lima menit kemudian, Robi masuk ke dalam setelah menyelesaikan obrolannya di telepon. "Maaf, saya lama bicara di teleponnya," katanya.

"Tidak apa-apa." Sebenarnya aku ingin izin pergi ke dapur untuk membantu Yumna memasak makanan makan malam. Tetapi, aku bingung untuk izinnya. Akhirnya, aku memutuskan untuk berdiam diri di ruang tengah meskipun aku tahu tidak akan ada percakapan di antara kami.

"Jadi, selama empat tahun ini, kamu tinggal di luar negeri?" Nyatanya aku salah. Aku pikir, tidak akan ada percakapan, ternyata ada, dan Robi yang memulainya terlebih dahulu.

"Iya."

"Untuk lanjut belajar atau untuk menghindari permasalahan yang ada?" ucap Robi.

Aku terdiam. Menghindari masalah? Batinku. Aku rasa, aku tidak menghindari masalah apapun, untuk apa aku menghindarinya sedangkan permasalahan itu sendiri sudah lama telah terselesaikan?

Robi tersenyum. "Tidak apa-apa jika untuk menghindari permasalahan. Saya juga pernah melakukan hal yang sama denganmu. Saya pergi ke luar negeri dengan alasan belajar, namun, nyatanya saya pergi ke luar negeri dan menetap di sana selama lima tahun untuk menghindari masalah."

Aku terdiam.

"Oh iya, maksud saya menghindari masalah di sini adalah melupakan masalah yang sedang terjadi, berharap telah benar-benar usai, tapi kenyataannya tidak sama sekali," jelas Robi.

Entah mengapa, aku jadi merasa penasaran dengan masalah yang pernah di hadapi oleh Robi.

"Kamu penasaran?" tanyanya seakan-akan tahu isi pikiranku. Atau mungkin, wajahku jelas sekali menggambarkan kalau aku penasaran dengan masalahnya itu.

Aku langsung menggeleng.

"Saya tidak masalah, kok, menceritakannya kalau kamu memang pingin tau," katanya. "Kejadiannya delapan tahun yang lalu. Mantan istri saya mengalami kecelakaan dan membuatnya harus kehilangan bayinya. Saya sangat menyesalinya. Padahal, sebelum kecelakaan, saya sudah melarangnya untuk membawa mobil saat kondisinya sedang hamil besar, usia delapan bulan. Dua bulan setelah kecelakaan, mantan istri saya tiba-tiba meminta cerai dari saya. Waktu itu, saya merasa hubungan saya dengan mantan istri saya baik-baik saja. Tapi, mantan istri saya merasa sebaliknya. Saya terpaksa menandatangani surat cerai itu karena mantan istri saya mengancam untuk bunuh diri. Saya tidak ingin terjadi ... Ya, jadilah saya menalaknya dan bercerai."

Robi menceritakan kisahnya secara garis besarnya kepadaku. Apa yang terjadi pada mantan istri Robi, juga terjadi pada diriku. Kehilangan seorang anak yang masih berada di dalam kandungan. Akan tetapi, mantan istrinya Robi kehilangan bayinya saat usia kandungannya memasuki delapan bulan. Padahal, aku ingin sekali merasakan detak jantung dan pergerakan bayi di dalam kandunganku, seperti saat umi mengandung Hafidzah. Di mana Fidzah menendang perut umi. Aku ingin merasakan kebahagiaan yang seperti itu, namun Allah berkehendak lain.

"Rahma?" Robi memanggilku. "Mengapa terdiam? Kamu teringat sesuatu?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Oh iya, Robi. Saya bantu Yumna dulu di dapur, ya?" kataku.

"Baiklah."

***

Aku melihat Yumna sedang sibuk memasak dari belakang. Aku tersenyum. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Yumna akan menikahi kak Zaki dan sebaliknya. Aku berjalan mendekati Yumna yang sedang menumis kangkung, kesukaan kak Zaki.

"Duh, romantis banget, sih. Baru juga satu hari menikah, sudah hafal betul makanan kesukaan suami," kataku menggoda Yumna.

"Harus, dong," jawabnya singkat.

"Ada yang bisa aku bantu, nggak?" tanyaku.

"Nggak usah, adik ipar. Kamu duduk aja. Lagian, kamu kan, tamu di rumah aku," katanya membuat aku tertawa. "Kok, ketawa?"

"Aku disebut adik ipar sama kamu tuh, rasanya aneh banget tau, nggak, sih?" kataku.

"Gue juga ngerasa aneh, sih. Tapi kan, harus dibiasakan supaya menjadi terbiasa," jawabnya.

"Iya, deh, iya."

"Bagaimana?" Yumna tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tidak aku mengerti.

"Bagaimana apanya?" Aku balik bertanya.

"Robi. Sudah ngobrol apa aja?"

Aku pun langsung memiliki niat usil kepada Yumna. "Rahasia." jawabku yang mungkin akan terdengar menyebalkan di telinga Yumna.

"Aku lagi pegang spatula nih, Ma. Jangan sampe melayang ke arah kamu," ancamnya sambil mengarahkan spatulanya ke arahku.

Aku tidak menghiraukan ancaman Yumna. "Udah, nggak usah kepo. Fokus aja ke masakan kamu. Nanti gosong di omelin suami. Kak Zaki tuh, kalau ada yang bikin makanan gosong, nggak bakal di kasih jatah duit buat Jajan. Serem, bukan?" kataku mengalihkan pembicaraan.

"Itukan kalau ke kamu. Asal kamu tau, ya, Ma. Mas Zaki tuh, nggak akan begitu ke aku, Ma." ucap Yumna dengan percaya diri.

"Mas? Wow, Yumna! Mas!" ledekku.

"Awas, ya, kamu. Enggak usah makan masakan aku!" katanya. Aku tertawa melihat Yumna yang langsung merajuk.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang