Bagian 9. Sesuatu Yang Tidak Terduga

406 28 7
                                    

Hari ini ternyata kak Zaki pulang sedikit terlambat. Jadi, kami makan malam bertiga tanpa adanya kak Zaki. Selesai makan malam, Robi izin pergi ke masjid yang jaraknya tidak jauh dari rumah kak Zaki. Robi ke masjid untuk melaksanakan salat isya, karena sebentar lagi akan memasuki waktu isya, jadi dia berangkat sebelum adzan berkumandang.

Robi pergi, aku dan Yumna bertugas mencuci piring dan membersihkan meja. Yumna menyimpan lauk yang sengaja disisakan olehnya untuk kak Zaki di dalam kulkas, kalau kak Zaki sudah pulang baru dihangatkan lagi. Kak Zaki tidak masalah memakan makanan sisa yang disimpan dalam kulkas lalu dihangatkan, yang penting baginya, tidak membuang-buang makanan, mubadzir.

Adzan isya dikumandangkan melalui toa masjid sehingga dapat terdengar oleh penjuru komplek tempat tinggal kak Zaki dan Yumna. Selesai dari kegiatan bersih-bersih kami, kami bergantian mengambil wudhu dan melaksanakan salat isya bersama di rumah. Usai salat isya dan berdoa, aku dan Yumna duduk di ruang tengah, berniat untuk mengobrol sebelum Robi kembali dari masjid.

"Rahma, menurut lo Robi, gimana? Kan, lo udah kenal nih, sama dia. Ya, walaupun baru sebentar." kata Yumna.

"Dia baik," jawabku singkat.

"Baik itu umum, Rahma. Yang lebih spesifik gitu, lho."

"Ganteng? Kan, ganteng relatif. Pintar? Pasti, karena profesi dia dokter. Masa, seorang dokter nggak pinter, ya kan?" kataku.

"Oke, gini aja. Antara Robi dengan pak Ramdan, mana yang lebih baik?" Pertanyaan Yumna mampu membuatku terbungkam. "Jawab, dong."

Bukan aku tidak ingin menjawab. Pertanyaan Yumna terlalu sulit untuk aku jawab. Masalahnya, aku baru saja mengenal Robi, itupun tidak sepenuhnya aku mengenalnya. Sedangkan pak Ramdan, meskipun aku sudah mengenalnya cukup lama, tapi aku masih belum benar-benar bisa menilainya, terlalu sulit untuk memahami dirinya. Atau, aku yang memang tidak bisa memahami dirinya, sehingga sering terjadi kesalahpahaman antara aku dengannya saat kita bersama dulu.

Sebelum aku menjawab pertanyaan Yumna, Robi telah kembali. Dia datang sambil mengucapkan salam, dan kami pun menjawabnya.

"Kayaknya, obrolan kalian sangat serius. Saya ganggu, ya?" ucap Robi.

"Enggak, kok," jawabku.

"Sepertinya sudah malam, sebaiknya saya pamit pulang." kata Robi lagi.

"Lho, bukannya kata kamu besok libur, ya?" ucap Yumna.

"Awalnya begitu. Tapi, tadi sore profesor saya menelepon dan memberitahu, kalau besok ada jadwal operasi, jadi saya harus membantunya."

"Kok, mendadak sih, perubahan jadwalnya," protes Yumna.

"Maaf, Yumna. Lain kali, saya akan datang lagi." kata Robi. "Bagaimana dengan kamu, Rahma? Mau pulang sekarang? Biar sekalian saya antar, Zaki juga baru pulang nanti, pasti dia juga lelah, kan?"

Ya, yang dikatakan Robi memang benar. Namun, aku tidak berniat pulang bersama Robi. Apabila kak Zaki lelah dan tidak berniat mengantarku pulang, aku bisa memesan taksi online.

"Iya, pulang bareng Robi aja, Ma. Lebih aman dibanding naik taksi online," kata Yumna seolah-olah tahu rencana aku yang ingin pulang dengan taksi online dibanding bersama Robi.

"Tapi, saya tidak memaksa kalau kamu tidak ingin," kata Robi. Banding berbalik dengan perkataan Robi, Yumna justru terus membujukku pulang bersama dengan sepupunya. Karena aku tidak ingin terus mendengar ocehan Yumna, aku pun memutuskan akan pulang bersama Robi, sesuai kemauan Yumna.

***

Robi mengantarku sampai depan gerbang. Aku turun setelah mengucapkan terima kasih karena telah mengantarku pulang sampai rumah dengan selamat. Setelah itu, Robi pamit pulang. Mobil Robi pergi meninggalkan aku sendiri di depan gerbang. Setelah mobilnya terlihat jauh dari pandanganku, aku pun masuk ke dalam. Selama di perjalanan tadi, kami saling terdiam, tidak ada obrolan selain mengenai jalan ke arah rumahku.

Aku melihat dua mobil terparkir di teras rumah. Aku juga melihat pintu terbuka lebar. Jika seperti itu, biasanya ada tamu yang datang ke rumah. Aku melihat ke arah jam yang melingkar dipergelangan tanganku. Sudah pukul setengah sembilan malam. Ya, butuh waktu satu jam perjalanan dari rumah kak Zaki ke rumah abi.

Belum sempat aku mengucapkan salam, umi lebih dulu memanggilku dan membuat semua orang yang ada di ruang tamu melihat ke arahku. Aku terdiam di tempat saat melihat kedua orang tua pak Ramdan dan pak Ramdan berada di rumah. Umi menghampiri aku dan segera menuntunku masuk ke dalam. Saat itu, aku kikuk sekali.

"Kenapa baru pulang? Umi sudah telepon kamu berkali-kali, tapi tidak di jawab," kata umi.

"Maaf, umi. Handphone aku mati." kataku sembari menyalimi umi, kemudian menyalimi abi.

"Ya sudah, tidak apa. Salim dulu sana sama orang tua pak Ramdan," kata umi. Aku mengangguk dan mengikuti apa yang dikatakan oleh umi.

"Kalau begitu, Rahma ke kamar dulu, ya?" kataku setelah salim ke orang tua pak Ramdan, mantan mertuaku.

"Rahma." Abi memanggilku sambil menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Aku melihat ke arah umi, umi mengangguk. Aku pun duduk di dekat abi. "Ada yang ingin disampaikan oleh keluarga nak Ramdan," kata abi.

Aku tidak menyahuti perkataan abi. Aku terdiam sambil melihat ke arah kedua orang tua pak Ramdan, menunggu mereka berbicara.

"Jadi, gini nak Rahma." Ayah pak Ramdan memulai pembicaraan. "Maksud kedatangan kami ke mari, selain bersilaturahmi, kami ingin membangun sebuah hubungan."

Hubungan? Batinku. Aku melirik ke arah abi dan umi bergantian. Perasaanku mengatakan, ada suatu hal yang aku tidak inginkan terjadi.

"Kami ingin kamu dan Fahri kembali hidup bersama," lanjut ayah pak Ramdan.

Deg.

Benar saja dugaan diriku. Umi yang berada tidak jauh dariku, menggenggam tanganku.

"Rahma. Ibu tau, pasti ini sangat sulit untuk kamu terima karena kejadian di masa lalu yang tidak dapat kamu lupakan, bahkan kami tidak akan pernah bisa melupakannya. Tapi, Rahma, ibu harap, kamu bisa kembali menjadi mantu ibu. Kamu tau, kamu adalah menantu sekaligus anak kesayangan ibu."

Tanpa di sadari olehku, aku menggenggam tangan umi dengan erat. Umi mengusap punggung tanganku, bermaksud untuk menenangkan diriku.

"Keputusan ada di tangan kamu, Rahma. Abi tidak berniat untuk ikut campur dalam urusan kamu. Kamu sudah dewasa untuk mengambil keputusan yang sebesar ini. Abi yakin, kamu pasti bisa mengambil keputusan yang tepat," ucap abi pelan.

"Bisa beri Rahma waktu dulu sebelum menjawabnya?" kataku.

"Kami akan memberi kamu waktu untuk berpikir. Pikirkan dengan sebaik mungkin. Kami tidak akan memaksa kamu untuk kembali hidup bersama dengan Fahri, Rahma. Seperti yang ibu bilang, kamu putri kesayangan kami, jadi kami juga menginginkan yang terbaik untuk diri kamu," ucap ayah pak Ramdan.

Aku menghela napas lega mendengar perkataan ayahnya pak Ramdan. "Terima kasih, ayah," ucapku dengan sedikit canggung.

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang