Bagian 17. Pak Ramdan [2]

308 23 0
                                    

Sepulangnya ke rumah, Hafidzah langsung menyambut aku dengan pelukan. Aku melihat paman sedang tersenyum ke arahku. Aku membalas senyuman paman. Aku pulang tidak bersama dengan pak Ramdan, aku menolaknya saat dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang.

Selain itu, sebelum kami benar-benar berpisah di taman tadi, pak Ramdan bilang, "Saya akan datang ke rumah seorang diri untuk mendengar jawaban dari kamu".

Tidak lama kemudian, aku melihat mobil kak Zaki terparkir di halaman rumah. Mereka sudah sampai. Abi keluar dari dalam mobil sambil dibantu oleh umi. Umi membantu abi dengan penuh perhatian dan hati-hati. Aku menghampiri mereka dan membantu mengeluarkan barang-barang dari bagasi bersama dengan Yumna. Lalu, aku segera bergegas membuka pintu yang sempat aku kunci dan membukanya dengan lebar.

Umi langsung membawa abi ke kamar, supaya abi dapat segera berbaring di tempat tidur karena abi masih harus membutuhkan istirahat meskipun kondisinya sudah lebih baik. Aku tersenyum, senang melihat abi sehat kembali.

Selesai menaruh barang bawaan milik abi dan umi, aku berniat keluar, namun abi menyuruhku untuk duduk di dekatnya. Katanya, ada yang ingin dibicarakan. Aku melihat umi, Yumna, dan kak Zaki bergantian.

"Ada apa, abi?" Aku bertanya sembari duduk di dekat abi.

"Tadi, dokter Robi mendatangi ayah dan kami membicarakan sesuatu," katanya.

"Dia bicara apa dengan abi?"

"Dia minta izin sama abi untuk melamar kamu. Tapi, dia minta waktu untuk menyelesaikan urusannya lebih dulu sebelum melamar kamu."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Baru saja semalam dokter Robi mengatakan niat baiknya padaku dan berjanji, lalu pagi ini dia sudah menyampaikannya pada abi. Aku, antara senang dan tidak percaya, semua bercampur aduk.

"Semoga dokter Robi adalah laki-laki yang baik, yang dapat membuat kamu bahagia," ucap abi dengan tulus. Umi yang berada di sampingku, mengusap kepalaku dengan lembut.

***

Keesokan harinya, pak Ramdan datang ke rumah bersama dengan ayah dan ibu. Kini, kami sedang berkumpul di ruang tengah, bukan lagi di ruang tamu. Aku sudah duduk di antara abi dan umi. Kedatangan pak Ramdan dengan kedua orang tuanya untuk mendengar jawabanku. Padahal, aku merasa masih butuh waktu. Namun, jika aku terus merasa seperti itu, pasti bukanlah pilihan yang baik untuk kedua belah pihak. Lebih cepat, lebih bagus. Keputusan yang harus aku ambil pun bukanlah keputusan yang begitu rumit, jika aku mengikuti kata hatiku, dari awal bisa saja aku menolak ajakan pak Ramdan untuk menikah kembali dengannya.

Akan tetapi, aku merasa harus mempertimbangkannya karena aku takut keputusanku tersebut akan aku sesali di masa depan nanti. Dan jauh dari lubuk hati, aku memang masih mengharapkan pak Ramdan. Aku mengakuinya.

"Sebelumnya Rahma berterima kasih karena sudah diberikan waktu untuk memikirkannya. Keputusan yang Rahma ambil pun tidak mudah. Kini, Rahma merasa sudah lebih ikhlas. Rahma minta maaf, Rahma tidak bisa menikah lagi dengan pak Ramdan. Rahma berdoa, semoga pak Ramdan dapat bersanding dengan perempuan yang lebih baik lagi dari Rahma."

Aku melihat pak Ramdan tersenyum. Bukan senyum sedih ataupun kecewa. Senyumannya kini terlihat lebih tulus dan lebih ikhlas dari sebelumnya. Kini aku pun menyadarinya, ternyata kami sudah saling mengikhlaskan satu sama lain setelah beberapa waktu lalu masih ingin mempertahankan ego masing-masing. Yaitu pak Ramdan dengan perasaannya yang masih ingin memperjuangkan aku, dan aku dengan perasaan yang masih terjebak di masa lalu karena aku merasa perasaanku pada pak Ramdan belum usai sepenuhnya dan masih dapat diperbaiki. Namun pada akhirnya, kami hanya menyiksa perasaan kami, tapi sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah lebih ikhlas.

"Baik. Terima kasih atas jawabannya, Rahma. Saya juga berharap kamu dapat bersanding dengan laki-laki yang lebih baik lagi dengan saya. Saya juga berharap, di masa depan kita dapat menjadi teman baik," kata pak Ramdan.

"Ayah dan ibu juga berharap Rahma masih bisa menjadi anak kami meskipun tidak bersama Ramdan," kata ibu.

"Kapan-kapan kamu main ke rumah bersama suami kamu, ya, Rahma?" kata ayah.

Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Kalian juga silakan main ke rumah. Bagaimanapun, kalian masih jadi kerabat kami. Bukan begitu, sahabat?" kata abi pada ayah pak Ramdan.

"Tentu saja," jawab ayah pak Ramdan.

Aku senang melihat kedua sahabat itu kembali akur setelah beberapa waktu menjaga jarak karena masalah yang terjadi antara aku dengan pak Ramdan. Akhir yang bahagia, tentu saja. Memang itu yang aku dan juga pak Ramdan inginkan. Akhir yang bahagia tidak harus kembali bersama, bukan?

Bersanding Denganmu 2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang