t u j u h b e l a s

424 74 10
                                    

Dua hari sudah Una di rawat, Juna yang menemani Una di rumah sakit. Orang tua mereka memberikan ruang untuk mereka, jadi Juna leluasa untuk menjaga Una tanpa di awasi. Juna juga sudah malas pada orangtuanya. Ia bahkan tidak tinggal di rumah, melainkan apartemen.

Juna tengah menyuapi Una. Perempuan itu sudah sangat lahap memakannya, walaupun Juna tau makanan rumah sakit hambar, tapi Una tetap memakannya. Dengan alasan ingin disuapi Juna.

Juna menggelengkan kepalanya mendengar alasan Una. Juna mengulurkan air putih setelah makanan itu sudah habis , tanpa sisa. Juna mengacak rambut Una yang tidak keramas selama dua hari ini.

Una mengerucutkan bibirnya, membuat Juna gemas. Perasaan bersalah tentu saja masih memenuhi rongga hatinya, Juna tidak akan pernah melupakan hal itu seumur hidupnya, perbuatan yang sangat ia sesali.

"Udah kenyang, sekarang istirahat. Lo mau pulang ke rumah' kan?"

"Ih! Una baru selesai makan, masa mau langsung tidur. Nanti dulu." Juna berdecak ada saja Una alasannya.

"Ya udah tiduran, kalau enggak gue tinggal nih." Una mengangguk patuh, lalu menidurkan dirinya. Juna menarik selimut sampai sebatas dada Una. Lalu menepuk matanya sekali agar terpejam.

"Gue duduk di sofa ya, kalau lo mau apa-apa panggil aja."

"Tapi Juna jangan kemana-mana, jangan tinggalin Una." Juna tertegun, seolah ucapan Una meminta Juna untuk jangan meninggalkan dirinya, sampai kapanpun. Juna mengangguk gamang lalu berbalik menuju sofa.

Juna menduduki sofa, lalu mengambil ponselnya dan memainkannya untuk menghilangkan pikiran yang mengganggu. Tidak lama kemudian nafas Una sudah teratur terlihat dari perutnya yang naik turun.

Juna terkekeh, bahkan hanya tertidur saja Una sangat menggemaskan. Ia memilih kembali memainkan ponsel sampai terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki mendekat. Juna masih belum mau untuk mendongak, karena ia tahu siapa orang itu.

Sebuah amplop terlempar di meja hadapannya, Juna masih menunggu orang itu untuk berbicara dan menjelaskan maksudnya. "Baca, papa mau kamu menuruti permintaan mama dan papa. Ini untuk kebaikan kalian berdua."

Dilihat dari amplop luarnya saja Juna bisa menyimpulkan sendiri. Orangtuanya berniat membuangnya dengan alasan yang membuat Juna muak. Juna mendongak, melayangkan senyuman penuh arti. Di hadapan sang papa Juna merobek amplop itu dan melemparnya ke lantai.

"Kenapa? Kenapa papa mau misahin kita? Papa lupa permintaan Juna kemarin lusa untuk jangan pernah misahin Una dari Juna? Juna juga gak minta apa-apa selain itu."

Bagas mengepalkan tangannya "apa kamu tidak tersiksa memiliki perasaan pada Una yang bahkan kamu sendiri enggak bisa miliki, Una dekat dengan kamu tapi kamu enggak bisa menggenggamnya. Sampai kapanpun perasaan kamu terlarang dan tidak akan pernah terbalas, bahkan kalian sendiri tidak bisa bersatu. Untuk apa kamu pertahankan?"

"Itu urusan Juna pah, terserah Juna. Juna pingin punya perasaan pada siapapun. Juna sendiri yang tanggung resikonya. Papa kalau larang Juna juga percuma, perasaan ini udah terlalu dalam." Ucap Juna penuh penekanan.

"Papa dan mama hanya membantu kamu untuk keluar dari perasaan terlarang itu." Juna menggeleng sambil terkekeh.

"Kalian mau bantu atau justru buang Juna? Bilang aja, Juna juga udah tau bahwa kalian gak pernah anggap Juna anak. Dengan mindahin Juna ke asrama kalian pikir bakal bisa menghilangkan perasaan Juna ke Una? Enggak bisa pah, justru papa bunuh Juna secara perlahan. Karena faktanya Juna gak bisa hidup tanpa Una. Hari-hari Juna yang sepi akan terasa makin sepi."

"Papa tidak menerima penolakan dari kamu apapun itu alasannya. Papa akan antar kan kamu besok lusa. Semua sudah siap, kamu hanya tinggal berangkat." Bagas berdiri dari duduknya dan berlalu dari sana meninggalkan Juna yang terpaku. Ia meremas dan menjambak rambutnya sendiri, perasaan sesak kembali menguasai dadanya.

Apa bener gue dan Una gak akan pernah bisa bersatu? Kenapa?! Kenapa gue harus jadi saudara kembarnya?! Gue benci status ini, gue benci!

Juna menendang kesal meja dihadapannya, mengusap wajahnya kasar. Una yang mendengar semua itu meneteskan air mata "ja-jangan tinggalin a-aku Juna."

Juna mendongak, ia mengusap wajah frustasinya. Menghampiri Una yang sudah menangis. Juna mengusap sambil menggeleng pelan. "Jangan nangis, air mata lo salah satu kelemahan gue."

"Ju-juna janji gak a-akan ninggalin aku. Juna jangan nurutin kemauan papa." Una berbicara sesenggukan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Juna menarik Una kedalam dekapannya, kalau Una menangis maka ia harus menenangkannya, bukannya juga ikut menangis.

Juna mengusap punggung Una yang bergetar, menyalurkan ketenangan yang bahkan dirinya sendiri tidak tenang. Kemana lagi Juna bersandar selain pada Una? Siapa tempat Juna untuk pulang setelah ia pindah nanti? Tidak ada. Tidak ada dan tidak akan bisa seseorang menggantikan posisi Una dihatinya dan hidupnya.

"Kembaran gue gak boleh cengeng, tenang aja gue bakal balik kok. Lo tunggu ya" Juna benci mengucapkan kata itu. Una tetap menggeleng dibalik punggung Juna.

"Sebentar aja, gue janji sama lo." Ucap Juna lagi agar meyakinkan Una.

"Be-berapa lama?"

"Coba lo hitung, sekarang kita kelas sepuluh dan gue di sana sampai kelas dua belas, sebentar' kan?" Una memukul pundak Juna kuat. Ia semakin mengeratkan pelukannya, enggan untuk melepaskan Juna.

"Dua tahun Juna! Itu lama, hiks." Dua hari saja Juna tidak sanggup apalagi dua tahun tanpa Una begitupun sebaliknya.

Juna mengusap rambut sebahu Una. Ia akan merindukan semua tentang Una. Una yang selalu menemani hari-harinya, menyebabkan hari Juna penuh warna.

"Udah, Na. Gak cape nangis terus, nanti abis air mata lo." Juna mencoba mencairkan suasana walaupun tidak berhasil, karena Una masih belum bergerak dalam pelukannya.

Juna menguraikan pelukannya, mengusap pipi Una yang penuh dengan air, wajahnya terlihat kacau sama seperti dirinya. Juna menarik kedua sudut bibir Una, agar membentuk sebuah senyuman. Una dengan terpaksa mengikuti.

"Jangan pergi."

"Sebentar, gak akan lama. Gue janji."

"Kenapa Juna jahat mau ninggalin Una?" Mata Una kembali berkaca.

"Papa, mama yang ngelakuin itu. Gue gak mau durhaka sama mereka. Jadi terima keputusan mereka ya? Walaupun menyakitkan."

"Lo mulai belajar untuk hidup tanpa gue, gue enggak akan bisa selalu ada di samping lo. Suatu hari nanti gue pasti akan pergi." Una menunduk, tangannya memilin baju rumah sakit yang ia kenakan.

Kenapa ucapan Juna membuat Una tidak terima? Kenapa Juna seperti ingin pergi jauh? Jauh dari genggaman dan pandangan Una.

Tanpa mereka sadari sepasang mata menyaksikan mereka, mamanya Indah ikut menangis melihat hal itu. Ia tidak tahu bahwa Juna dan Una sudah sedekat ini, bahkan terlihat seperti bukan saudara. Siapapun yang melihatnya pasti akan merasa melihat seperti pasangan.

Indah melempar jauh ingatannya pada masa lalu, masa dimana ia sedang mengandung. Indah ingat betul bahwa anak yang dikandungnya kembar dan saat di USG  dua-duanya berjenis kelamin perempuan, tetapi setelah melahirkan salah satu dari mereka laki-laki yaitu Juna.

Indah tidak melahirkan secara normal, itu sebabnya ia tidak mengetahui proses persalinan. Indah tidak melahirkan normal karena mengalami kekurangan darah, ia juga ingat saat itu usia kandungannya masih tujuh bulan yang artinya Juna dan Una lahir prematur.

Tetapi semuanya berbeda lagi, Juna dan Una tampak tidak prematur, berat badan dan tinggi tubuhnya juga pas sama seperti bayi dengan kelahiran normal. Awalnya ia tidak peduli, dan kenapa baru terpikirkan sekarang?

Apa yang sebenarnya terjadi pada masa persalinannya? Indah menggeleng memikirkan hal negatif. Dengan cepat Indah berbalik dan menemukan suaminya, yang sedang menatapnya cemas. "Mas, aku butuh obat."

Tidak ada yang mengetahui bahwa Indah mengalami depresi kecuali suaminya sendiri. Depresi itu akibat dari masa lalunya yang kelam, itu sebabnya hari-harinya tidak bisa tanpa meminum obat.

•|•|•|•


Double up nih😁

Bunny TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang