"Una!" Una menoleh melihat siapa yang memanggilnya, Michael sedikit berlari mensejajarkan tubuhnya dengan Una.
Una menggelengkan kepala, "apa ada?"
Michael mendengus, melihat Una yang seperti sengaja melupakan sesuatu yang ia tunggu-tunggu. "Gak usah pura-pura lupa ya, apa jawaban kamu soal pertanyaan aku yang kemarin?"
Una mengernyit mendengar bahasa Michael berbeda dari biasanya. "Aku-kamu? Tumben."
"Pliss ya, gak usah mengalihkan topik, aku nanya serius." Una meneguk saliva dan matanya bergerak gelisah, ia lupa untuk menyiapkan jawaban atas pertanyaan Michael kemarin. Ia terlalu memikirkan Juna.
Lihat, pagi-pagi saja ia sudah merindukan Juna, Una menggelengkan kepala mencoba mengenyahkan Juna dari pikirannya. "Emm, aku gak bisa. Maaf chel, tapi kita masih bisa sahabatan kok."
Terlihat bahu Michael turun lesu, namun ia masih mencoba mengembangkan senyumnya. "Beda Na, gue mau kita lebih dari seorang sahabat. Apa alasan lo nolak gue? Apa masih sama dengan alasan yang sama saat Widan dan Bobby nembak lo?"
Una mengangguk gamang. "Aku masih nunggu seseorang. Kamu tau itu."
"Siapa? Kita gak pernah dikasih tau siapa orang itu, gimana gue bisa langsung percaya." Michael gemas sendiri dengan alasan Una yang masih sama dan tidak ingin memberitahu identitas orang itu, bahkan menyebutkan nama saja tidak mau.
Una menatap ujung sepatunya, Michael yang mengerti menghela nafas. "Oke, gue gak akan langsung begitu aja terima keputusan lo, biarin gue berjuang sampai lulus SMA nanti. Satu bulan lagi' kan?"
"Dan gue akan minta jawaban itu setelah penerimaan nilai, kalau lo terima kita lanjut, kalau nolak lagi gue mundur. Deal?" Michael mengulurkan tangan dihadapan Una, Una menatapnya bimbang.
Sudah pasti keputusan Una akan tetap sama, karena entah kenapa posisi Juna tidak bisa digantikan oleh siapapun. Una tetap menyambut uluran tangan Michael dan mencoba tersenyum seolah menerima permintaan itu.
Michael tersenyum senang lalu merangkul bahu Una menuju kelas, karena tadi mereka mengobrol ditengah koridor yang untungnya masih sepi. Una yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menerima, karena sudah mulai terbiasa. Biasanya hanya Juna yang melakukan ini padanya.
Una tersenyum tipis saat Juna kembali masuk pikirannya. Una dan Michael masuk kelas dan melihat Widan tengah berkutat pada buku pelajaran, mereka berlima memang disatukan dalam kelas yang sama karena alasannya, Bagas. Seperti biasa Bagas tidak mau sampai terjadi sesuatu pada Una.
Itu sebabnya mereka berempat menjaga dan selalu berada disekitar Una. Michael yang melihat pemandangan itu berdecak. Ia menggebrak meja Widan setelah melepas rangkulan pada Una.
Widan yang dikagetkan tergelonjak kaget, sementara Una hanya tim tertawa dan meletakkan tasnya di kursi depan Widan. "Apa-apaan si chel? Pagi-pagi udah nyari ribut aja." Ucap Widan tampak emosi.
Michael cengengesan. "Sorry Dan, abisnya gue muak banget ngeliat lo baca buku terus, gak ada kegiatan lain apa?"
"Ish! Michael, baca buku kan perbuatan baik, masa gak boleh si?" Tanya Una.
"Tuh Una aja tau, emang lo kerjaannya nongkrong-nongkrong gak jelas. Gimana bisa pinter?" Widan meledek.
Michael memiting kepala Widan membuatnya merintih kesakitan. "Woi lepasin!"
"Rasain! Siapa suruh songong."
"Michael, Widan udah ih. Kamu juga Michael kalau gak ribut sama Bobby nyari ribut sama Widan. Kerjaan kamu cuma itu?" Seketika Michael melepas pitingan leher Widan. Widan mengusap lehernya dan menatap sinis Michael.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunny Twins
FanfictionApakah salah memiliki perasaan lebih kepada seseorang yang selalu memberi perhatian, merasa terlindungi apabila berada disampingnya, yang selalu membuat tertawa, kemana-mana selalu bersama, dan menjadi prioritasnya? Apakah salah? Yang salah adalah o...