d u a p u l u h s a t u

449 71 14
                                    

Waktu berjalan begitu cepat Una tengah mengetuk-ngetuk meja belajarnya menggunakan pulpen, ia lagi memikirkan Juna saat dirinya tengah belajar untuk ujian terakhir. Ya lagi-lagi tentang Juna, pikirannya selalu tertuju pada Juna.

Una ingin mengetahui kabarnya, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa, karena tidak ada alat komunikasi yang terhubung pada Juna. Orangtuanya pun tidak tau nomor Juna yang baru dan saat Una ingin ikut mengunjungi Juna pasti selalu tidak diperbolehkan.

Deg!

Una celingak-celinguk menatap jendela balkon, ia seperti melihat seorang lelaki yang tidak asing dipandangannya, Una tidak salah lagi itu pasti Juna. Una berjalan cepat menyingkap hordeng transparan itu dan membuka pintu balkon.

Hening, hanya suara jangkrik yang menyambutnya dan kendaraan yang lewat, itupun jarang. Una menatap ke bawah yang berhadapan langsung pada kolam renang, tetap tidak ada siapapun dan ini juga sudah hampir tengah malam.

Una menumpu wajahnya dan pandangannya beralih pada langit yang malam ini ditaburi bintang. Una mengernyit biasanya, kota Jakarta jarang sekali menampakkan bintang dimalam hari. Tapi Una senang karena bintangnya bertabur indah dilangit.

"Huft, berarti aku cuma halusinasi."

"Juna, kamu dimana? Dimana pun kamu berada semoga kamu baik-baik aja."

"Aku kangen."

"Kangen banget sama kamu."

"Kapan kamu pulang? sebentar lagi ujian bakal selesai. Aku gak tau perasaan apa yang aku punya sama kamu, tapi perasaan ini menyenangkan dan aku cuma bisa ngerasainnya cuma sama kamu."

"Kenapa ya? Aku—"

"Una..." Ucapan Una terpotong oleh seseorang yang masuk , Una menoleh dan menemukan Indah masuk kamarnya.

"Kenapa belum tidur? Diluar dingin Una, ayo masuk kamar." Una menurut dan ikut masuk.

Una mendudukkan dirinya ditepi ranjang dan Indah duduk disampingnya. "Mah, Una mau nanya sama mama."

Indah mengusap rambut Una yang mulai memanjang. "Tanya aja."

"Perasaan Una setiap dideket cowok itu pasti selalu deg-degan, terus juga nyaman sama kehadirannya, apapun yang dilakukan sama dia Una pasti selalu seneng dan tersenyum, Una juga gak bisa marah sama dia mah. Dan saat orang itu pergi Una sedih, kangen, dan selalu mikirin dia setiap hari. Sebenernya Una kenapa mah?"

Indah tersenyum, lalu menatap Una mencari kebenaran. "Juna? Kamu cinta sama Juna?"

Mata Una membulat lalu cepat-cepat menggeleng. "Bu-bukan mah, temen Una di-di sekolah" balas Una gugup.

Indah menggeleng, ia menggenggam tangan Una. "Kamu lupa bahwa mama psikiater? Mama bisa baca mata kamu, kamu lagi berbohong atau tidak. Dan kamu berbohong, salah satu ciri-ciri orang berbohong yaitu berbicara gugup dan pandangannya gelisah. Sama seperti yang kamu lakukan."

Una menelan salivanya lalu melirik pintu, takut apabila ada yang mendengar. "Mama kok bisa tau, kalau yang aku omongin Juna?"

"Emangnya laki-laki yang dekat sama kamu siapa selain Juna?"

"Ta-tapi ini perasaan cinta sebagai saudara aja kan mah?"

"Bukan, perasaan kamu lebih dari itu Una. Tapi kamu harus hilangkan perasaan itu, karena perasaan itu terlarang didalam hubungan sedarah, hilangkan sebelum terlambat, lupakan sebelum kamu semakin terjatuh."

Una terdiam, Indah menepuk pipi Una dua kali lalu berlalu dari sana. "Kenapa cinta pertama aku harus kamu Juna? Kenapa?" Ucap Una lirih.

Bagas yang mendengar itu semua mengepalkan tangan dan rahangnya mengeras. "Sial! Ini gak bisa dibiarkan!"

•|•|•|•


Dibawah langit yang sama Juna tengah melamun di balkon apartemennya, Juna sudah pulang tepat tadi siang. Ia sengaja tidak memberitahu orang rumah karena sengaja ingin membuat kejutan untuk Una.

Sekolahnya yang memang berada di pedesaan memiliki waktu lebih cepat untuk melakukan ujian, sehingga jangan heran apabila Juna pulang secepat ini.

Kruyuk~

"Haduh, perut pake laper segala. Gak bisa dipending sampai besok ya? Biar gue ketemu Una dulu." Ucap Juna menepuk perutnya sendiri.

Karena tidak memliki persediaan makanan Juna mengambil dompet, hoodie, dan masker untuk menuju ke minimarket terdekat. Ia akan ke minimarket yang terletak di depan apartemen karena letaknya tidak terlalu jauh, ia juga sengaja memakai masker agar tidak ada yang mengenalinya.

Saat sampai didepan minimarket, tiba-tiba ada yang menabraknya dari arah depan dan menyebabkan barang-barang yang dibawa wanita itu terjatuh. Juna membantu wanita paruh baya itu untuk memunguti barang-barangnya yang berjatuhan.

Juna mengambil ragu dompet yang terbuka itu dan memperlihatkan foto bayi, Juna persis mengenali foto bayi itu foto bayi itu tidak lain dan tidak bukan Una. Tetapi yang anehnya tertulis dipojok kanan namanya Luna bukan Aruna.

Wanita itu mengambil dompetnya dari Juna. Juna dapat melihat sepenuhnya wajah wanita itu, dan ya Juna mengingatnya. Wanita ini yang menatap Juna penuh arti ditempat aksesoris perempuan saat Juna dan Una kesana untuk melihat boneka kelinci.

"Maaf, kalau boleh tau siapa bayi itu?"

"Ah ini anak saya, dia sudah...hilang."

Deg!

"Boleh tau usianya sekarang? Maaf kalau terlalu lancang, kalau kau tidak mau menjawab tidak apa."

Wanita itu tersenyum sedih. Wanita itu menatap Juna dari atas sampai bawah. "Persis seperti mu, matanya juga sama persis."

"Boleh kita duduk sebentar? Aku ingin berbicara sebentar mengenai bayi itu." Wanita itu mengangguk lalu Juna mengajaknya menuju kursi terdekat.

Juna dan wanita itu duduk berhadapan. "Maaf tadi sempat menabrak ibu, boleh tau nama ibu siapa? Say Juna."

"Nama saya Anggun." Wanita itu menyambut uluran tangan Juna. Dan tersenyum ramah.

"Boleh tau hilangnya bagaimana? Kali saja saya bisa membantu."

Pandangan Anggun menerawang jauh, menatap lurus ke depan. "Saat itu suami saya mengalami persaingan dalam dunia bisnis, dan musuhnya dengan tega menculik Luna, sampai sekarang saya bingung karena anak saya satu-satunya tidak bisa ditemukan, karena terlalu lama akhirnya polisi menyerah dan tidak melanjutkan pencarian."

"Saya tidak tau pasti dia masih hidup atau tidak, tapi saya pernah melihat salah satu remaja mirip sekali seperti wajah suami saya. Luna memang mirip sekali dengan ayahnya, tapi saat saya ingin mengikuti sepertinya saudaranya menyadari kehadiran saya. Jadi saya memilih pergi."

"Apakah orang itu saya?" Juna membuka maskernya membuat Anggun terkejut dan menutup mulutnya menggunakan tangan, kenapa gerakan refleknya mirip sekali dengan Una?

"Ya saya melihat ibu saat saya dan kembaran saya berada di toko aksesoris. Saya awalnya bingung dan ingin mendatangi ibu, tapi ibu keburu pergi."

"Kem-kembaran? Gadis itu kembaran kamu?" Juna mengangguk, ia merogoh ponselnya dan menunjukkan foto dirinya bersama Una.

"Ini dia, namanya Aruna bukan Luna seperti anak ibu." Anggun mengambil ponsel Juna dengan tangan gemetar.

"Boleh pertemukan saya dengan dia? Satu kali saja, walaupun hanya sebentar."

Juna mengangguk tanpa ragu, karena ia ingin membuat seseorang bahagia walaupun hanya sesaat. "Baiklah, besok bagaimana?"

•|•|•|•


Bunny TwinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang