Ini sedikit cerita Hanbin Jennie beserta kawan-kawan saat kelas satu SD..
"Hanbin boleh maju ke depan," kata gurunya sambil tersenyum manis.
Hanbin tersenyum bangga sambil membusungkan dadanya. Hehe gambarannya bagus nih. Hanbin jadi gak sabar liat ekspresi kaget Jennie yang menurutnya lucu.
Sampai di depan kelas, Hanbin membentangkan gambarannya di depan dada. Menunjukan pada teman-teman dan gurunya dengan bangga.
"Inilah cita-cita saya," katanya sambil tersenyum memamerkan giginya.
"Mau jadi pengasuh, Bin?" celetuk June membuat senyuman Hanbin luntur.
"Mana ada! Coba liat lagi!" jawabnya sambil menunjukan sekali lagi gambarannya.
Hanbin sedikit curi-curi pandang pada Jennie yang duduk di pojok kelas. Mukanya makin masam aja liat Jennie yang kini hanya menampilkan raut wajah biasa saja. Tidak terkesan sama sekali padahal Hanbin menggambar Jennie loh di dalem kertas ini.
"Guru TK?" tebak Bobby.
"Bukan!" balas Hanbin sambil melotot.
"Punya pacar?" tebak Jinan. Ngawur nih.
"Bukan!" teriak Hanbin lagi.
"Punya anak?" tebak June. Semakin ngawur.
"Bukann!" kali ini Hanbin merengek sambil menghentak-hentakan kakinya.
"Bukan! Bukan! Terus apa? Itu sudah jelas-jelas cita-citamu jadi bebisiter!" teriak Jinan berang.
Kini mata Hanbin berkaca-kaca. Beginilah kalo sudah kalah debat kalo gak sok-sok an mukul pastilah matanya berkaca-kaca.
"Nangis-nangis," ledek Jinan. Mengomandokan semua teman-temannya agar mengejek Hanbin sampai nangis.
Untungnya bu guru langsung turun tangan, "emangnya cita-cita Hanbin mau jadi apa?" tanya ibu guru lembut. Sebenernya gak cuma temen-teman Hanbin aja yang bingung. Bu guru pun sama bingungnya.
Di kertas gambar Hanbin, digambar seorang laki-laki yang menggandeng perempuan yang lebih pendek dari laki-laki tersebut. Jadi gak salah sih waktu June nebak cita-cita Hanbin jadi pengasuh anak.
"Pengen jadi temen Jennie selamanya," kata Hanbin sambil mengusap air matanya.
"Huu cita-cita macam apa ituu," Jinan kembali meledek. Mungkin cita-cita Jinan adalah meledek Hanbin sampe gede.
Hanbin bersiap menangis lagi, tapi ibu guru buru-buru nyuruh Hanbin duduk. Bisa gawat kalo Hanbin nangis.
Hanbin berjalan ke bangku Jennie sambil mengusap ujung matanya, "bagus gak?" tanya Hanbin jutek.
Jennie mengangguk.
"Mau gak jadi temen aku?" tanya Hanbin lagi masih dalam mode jutek. Pasti Jennie menggeleng. Kapan sih Jennie mau jadi temennya.
Jennie menggeleng. Tuh kan. Hanbin nangis nih.
"Cita-cita aku mau jadi temen kamu sampe mati. Tolong kerja samanya!"
"Mau gak jadi temen aku?" tanya Hanbin sekali lagi.
Jennie mengangguk. Hanbin sudah bersiap nangis kalau-kalau Jennie menggeleng. Eh tau-taunya ngangguk.
"Yang bener!!" kata Hanbin berusaha menyembunyikan senyum malu-malunya.
"Iya," jawaban singkat dari Jennie membuat senyuman Hanbin makin lebar aja.
"Buat kamu," kata Hanbin menyodorkan gambarannya pada Jennie.
"Bagus," puji Jennie. Masih dengan wajah datar.
Merahlah pipi Hanbin, "makasih," jawabnya mesem-mesem sendiri.
"Ini sekolah! Bukan tempat pacar-pacaran!" teriak Jinan dari depan kelas. Kali ini gilirannya untuk memberitahu cita-citanya pada teman-teman sekelas, tapi Hanbin malah pacaran di pojok kelas. Kan sebel Jinan!
"Apa kau, pendek?" tanya Hanbin sambil berkacak pinggang. Mentang-mentang sudah resmi jadi temen Jennie.
"Eh nantangin kau!" balas Jinan sambil menggulung tangan seragamnya ke atas.
**
malam minggu kali ini kita flashback aja dulu ya🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Kucing Pemalas
Teen FictionJennie itu kurang lebih seperti kucing rumahan yang matanya bulat, rambutnya halus terawat, dan suka diam termenung di teras rumah sambil memandangi manusia yang berlalu lalang di hadapannya. Seperti kucing persia yang pemalas, Jennie selalu lemas d...