4 tahun yang lalu
Jennie menatap Hanbin yang sedang menangis di hadapannya dengan tatapan datar. Jika dulu saat TK penyebab tangisnya adalah ejekan Jinhwan, kini di SD penyebab tangisnya adalah kalah bertengkar dengan temannya sendiri.
Mengadu pada Bundanya mungkin sudah tidak di dengar. Kini Hanbin mengadu pada Jennie sambil menangis sesegukan.
Setelah memalak uang Jinhwan, Hanbin dipukuli June si anak karate, sahabat karib Jinhwan.
"Padahal kan June sepupu aku, Jen!" teriaknya sambil menendang-nendang angin di teras rumah Jennie.
"Bobby juga gak belain karna takut di pukul!" Hanbin merengek lagi sambil menonjok-nonjok angin yang tak bersalah.
Jennie memutar bola matanya malas, "kamu yang salah. Ngapain malak duit orang?" Jennie tak habis pikir. Padahal mereka sudah kelas lima tapi kelakuan Hanbin masih seperti bocah kelas satu.
"Jinan nyebelin! Dia fitnah aku! Katanya aku masih suka pake kolor mickey mouse!" jeritnya sambil menghentakkan kaki.
Jennie memutar bola matanya lagi, "fakta."
Mata Hanbin melotot, "tau darimana kamu?"
"Waktu anter kamu pipis," jawab Jennie datar. Tidak ada malu-malunya sama sekali. Berbeda dengan Hanbin yang kini pipinya memerah mengingat kejadian ngompol di TK.
"I-itukan masih TK! Wajar dong! Sekarang kan udah gak pake lagi!" sanggah Hanbin sedikit terbata-bata. Mukanya masih merah padam.
"Itu apa?" tunjuk Jennie pada jemuran di halaman rumahnya. Sontak mata Hanbin kembali melotot melihat kolor mickey mouse nya menggantung di sana.
"I-itu punya Mulan!" bantah Hanbin membawa-bawa nama adiknya yang masih berumur satu tahun. Hm. Alasan yang pintar, Hanbin, rutuknya di dalam hati.
Jennie melengos masuk ke dalam rumah setelah mendengar alasan konyol dari Hanbin.
"Lah Jen!? Aku ditinggal?" Hanbin kembali merengek lalu mengguling-gulingkan tubuhnya di teras rumah Jennie sambil melanjutkan tangisannya.
Heran Jennie sama diri sendiri. Kok masih mau temenan sama orang ribet kek Hanbin.
Jennie kembali ke teras rumah sambil menenteng kotak P3K. Mengangkat kerah kaus Hanbin hingga laki-laki itu bangun dan duduk bersila di depannya.
Jennie menghapus air mata Hanbin dengan sedikit kasar, "yang ikhlas dong, Jen!" gerutunya sambil meringis kala tangan Jennie tak sengaja menyentuh lukanya.
"Jangan teriak," kata Jennie tajam sambil menumpahkan obat merah ke kapas.
Hanbin meringis. Tak berjanji dalam hati.
Baru saja kapas menempel satu detik di lukanya. Pipi basah Hanbin yang sudah Jennie lap kini kembali basah.
"BUNDAAA!" teriaknya dramatis.
**
Jennie menatap Hanbin yang sedang PBB di tengah lapangan. Ini latihan perdana Hanbin sebagai anggota paskibara baru di SMA. Sengaja Jennie sampingkan dulu rasa malasnya untuk menemani Hanbin latihan perdananya. Katanya gugup. Kalo diliatin Jennie gak jadi gugupnya.
Jennie mencoba mengamati Hanbin yang kini berdiri dengan sikap sempurna. Laki-laki itu seperti bukan temannya saat SD yang cengeng, penakut, dan payah. Laki-laki itu telah berevolusi menjadi Hanbin yang berwibawa, tegas, dan juga disiplin.
Kalau saja perempuan-perempuan di sampingnya ini tahu seberapa cupunya Hanbin saat SD mungkin mereka akan mundur alon-alon.
Jennie memutar bola matanya saat pasukan Hanbin dengan serentak berbalik badan hingga menghadap ke arahnya yang sedang duduk di koridor kelas yang menghadap langsung ke lapangan. Hanbin mengedipkan matanya dengan sedikit senyuman jahil.
Bukannya merona, Jennie malah mendengus sebal.
Hah! Menonton orang latihan juga ternyata menguras tenaga. Tubuhnya kini lemas merindukan kasur di kamarnya. Hanbin memang benar-benar. Katanya setengah jam. Ini sudah satu jam lebih masih saja betah berdiri di lapangan yang panas.
Jennie menguap. Lantai koridor kalau dipakai tidur enak gak ya?
"Jen!" Hanbin menepuk pipinya pelan.
Jennie membuka matanya perlahan. Astaga. Dia tidur beneran. Padahal niatnya cuma bercanda.
"Ih tangan kamu keringatan!" teriak Jennie sebal ketika tangan lengket Hanbin menangkup pipinya.
Hanbin cuma nyengir, "ayo pulang."
Jennie menggeleng lemas. Ini sudah jam lima sore. Belum ada asupan makanan apapun sejak siang. Tenaganya habis dipakai menonton latihan Hanbin.
Hanbin terlihat mengerti. Dia berjongkok di depan Jennie dan langsung saja Jennie namplok di punggung Hanbin.
Meskipun orang lain terlihat kebingungan melihat Hanbin menggendong Jennie di punggungnya, tapi Hanbin lebih tepatnya Jennie tidak terlalu peduli. Disini nyawanya dipertaruhkan. Bisa pingsan kalau Jennie memaksakan dirinya jalan ke parkiran.
"Gimana? Skill baris-berbaris aku udah gak kaku lagi kan?" tanya Hanbin. Bibirnya tertarik ke atas. Bangga dengan dirinya sendiri.
Jennie mengangguk pelan. Bicara pun sudah tidak ada tenaga. Jennie butuh makanan.
Hanbin menepuk tangan Jennie yang terkulai di bahunya, "pegangan Jen. Ngejengkang ke belakang nanti."
"Tau gak, Jen? Bulan depan bakal ada seleksi lomba. Doain lulus, ya?" Hanbin terlihat semangat. Dari samping, Jennie bisa melihat mata Hanbin yang berbinar-binar.
"Pasti," jawab Jennie.
Sampai di parkiran, Hanbin menurunkan Jennie. merangkul bahu Jennie agar berdiri tegak.
"Bin!" dari ujung parkiran, Jennie melihat perempuan yang seragamnya sama dengannya. Menghampiri Hanbin dengan senyuman lebar.
"Telat sih. Tapi tadi gue sempet beliin lo minum," kata perempuan itu memberi Hanbin minuman isotonik.
Hanbin tersenyum ramah, "makasih ya," balasnya.
Perempuan berambut blonde panjang itu menatap Jennie dengan tatapan bingung. Kemudian matanya melotot ketika menyadari tangan Hanbin yang ada di bahunya.
"Eh? Sorry gue gak bermaksud-"
"Dia bukan pacar gue," potong Jennie. Padahal malas ngomong tapi, ya sudahlah.
Perempuan itu mengangguk mengerti. Wajahnya kelihatan sekali bersyukur. Hanbin pasti gak peka, batin Jennie.
"Oh kalau gitu gue duluan ya, Bin!" ceria sekali aura perempuan itu. Dia berjalan riang menjauhi mereka.
"Suka tuh sama kamu," kata Jennie yang sedang dipasangkan helm oleh Hanbin.
"Ngaco," gumamnya yang sedang memasangkan quick release helm Jennie.
"Siapa namanya?" tanya Jennie. Sedikit penasaran dengan perempuan blonde tadi yang auranya ceria banget.
"Mau makan apa?" Hanbin bertanya tanpa menjawab pertanyaan Jennie.
Jennie mencebikkan bibirnya. Selalu saja begitu. Padahal gak akan Jennie labrak juga orangnya. Ya ngapain. Jalan aja males apalagi marah.
Eh sebentar. Ngapain dilabrak? Jennie menggaruk helmnya bingung.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Kucing Pemalas
Novela JuvenilJennie itu kurang lebih seperti kucing rumahan yang matanya bulat, rambutnya halus terawat, dan suka diam termenung di teras rumah sambil memandangi manusia yang berlalu lalang di hadapannya. Seperti kucing persia yang pemalas, Jennie selalu lemas d...