| Prolog | : To Anyone

433 59 16
                                    

Setiap sayatan luka yang tergores ... akan menumbuhkan kebencian dan dendam. Setiap hal yang menyelewengkan kedamaian ... akan berakibat fatal dengan sebuah balas dendam.

Air mata dan darah, pasrah dan meronta, memohon seperti makhluk rendahan atau memaksa melarikan diri dengan memangku kecerobohan akan diri sendiri.

Mereka yang terlibat, haruslah bertanggung jawab sepenuhnya.

×××

Novel ini kupersembahkan bagi orang-orang yang suka menindas dan mencela. Yang utama diperuntukan untuk sekumpulan orang-orang yang suka bicara omong kosong, fakta terbalik dan lintah-lintah darat. Mereka yang selalu ingin menjadi yang terbaik dengan topeng rupa-rupa ekspresi. Juga untuk para orang tua di luar sana yang lebih menyukai menelantarkan anak-anaknya hingga tersesat. Karena mereka selalu menganggap itu adalah pelajaran untuk menjadi mandiri.

Pada akhirnya mereka-mereka semua harus diadili.

****

——————————

Selamat membaca

——————————

Aku mungkin salah jika melihat sekilas, ketika pandanganku dibiarkan menjurus pada sosok yang duduk bersimpuh di lantai, di belakang salah satu rak buku yang tak tertata dengan rapi. Ruang perpustakaan yang sepi senyap sekarang ini.

Samar-samar suara isak tangis mulai merayap dan menggelitik ke dalam rongga telinga. Mengganggu niat awalku berada di sini—mencari salah satu buku paket pelajaran edisi dua tahun lalu agar tidak ketinggalan kalau-kalau ada soal lama yang mencuat dari deretan nomor di kertas ujian. Tapi apa yang kutemukan kali ini adalah seorang siswa yang duduk sendirian dan menangis samar-samar.

Perlahan aku menarik langkah agar bisa mendekati gadis itu. Semakin dekat jarak yang kuambil, maka aku bisa melihat rambut panjang sedikit kusut di ujungnya itu menyampir acak di pundak mungilnya. Menghalangi sebagian wajahnya yang membuatku semakin ingin melihat dan juga memastikan siapa dia dan apa yang dilakukannya di sini, sendirian. Padahal jam pulang sekolah sudah berlalu sejak satu jam yang lalu.

Tapi tiba-tiba serangan bau yang membuatku refleks ingin menutup kedua lubang hidung dengan dua jari tangan. Mengusir bau yang seolah membangkitkan rasa mual, muak dan hal-hal yang bisa mengguncang isi lambung agar menyembur keluar.

Aku tidak bisa menebak bau apa ini sebenarnya. Jika aku mencoba menguraikannya. Ini seperti bau saus tuna basi, bercampur telur busuk dan bensin. Semuanya bercampur menjadi satu dan baunya semakin menguat saat jarak yang kupangkas semakin sedikit dengan gadis itu. Dia masih duduk menunduk dengan punggung senantiasa bergetar. Masih menangis dan hebatnya suara tangisannya bisa sepelan itu. Aku saja jika menangis bisa seperti bocah yang tidak diberi uang lebih pada saat berangkat ke sekolah.

Sekelebat pemikiran yang membuatku yakin dan menyimpulkan asal bau menjijikan ini adalah dari gadis itu. Tinggal enam langkah lebar lagi, aku sampai ke tempatnya.

Namun, belum itu terjadi atau setidaknya aku berusaha agar tidak mengejutkannya. Apalagi mataku saat ini tidak salah melihat wajah gadis itu kotor, penuh tepung, dan saat kepalanya terangkat. Begitupun rambutnya yang ikut bergerak, menjatuhkan cairan lengket dan bubuk berwarna putih ke lantai kayu perpustakaan. Aku semakin yakin jika dua hal tadi adalah asal bau ini.

Akan tetapi, aku tak bisa lebih memikirkan bau-bau itu dan secara tidak sadar, jari-jari yang menjepit kedua lubang hidungku terlepas. Mataku terkunci pada mata gelap gadis itu yang sekarang tengah menatapku balik. Begitu lekat sampai aku bisa melihat betapa resah, kalut, ketakutan, kecewa dan marah dalam bola matanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku bertanya dengan nada tercekat saat gadis itu bangun dari duduknya. Seragam sekolah yang sama persis denganku. Rok di atas lutut berwarna abu kebiruan tua. Dengan kemeja putih bergaris dan pita seukuran telunjuk bayi mengait di kerah. Tapi semua itu berbeda di badannya. Seragamnya kotor dan lengket di sana-sini. Dan lebih buruk bau-bau memuakkan itu menyerbu indera penciumanku semakin kuat.

Gadis itu mengusap sisa air matanya yang berbekas di kedua pipinya yang terlihat lebih bulat dan kenyal. Aku tidak akan bohong jika sekarang aku bilang, gadis itu begitu memprihatinkan saat ini. Yakin atau hanya tebakkan yang sekarang berseliweran di dalam kepalaku jika gadis itu baru saja mendapat bullying oleh siswa setengah tolol yang bernaung di sekolah ternama ini. Sebenarnya ini tidaklah baik dianggap sekolah, akan tetapi gedung penuh dengan orang-orang bengis serta serakah di dalamnya.

Tanpa berniat menjawab pertanyaanku barusan, gadis itu mengusap wajahnya terlihat frusterasi dan menarik melangkah cepat, setengah berlari ke arahku. Karena di kedua sisi kami berdua adalah rak. Sementara di belakang tubuh gadis itu hanya ada dinding kokoh perpustakaan. Jalan satu-satunya adalah di mana aku bediri sekarang.

Aku tidak bisa menghindar saat sebelah bahu kami berdua harus beradu kencang dan aku terhuyung ke samping. Bersama dengan benda kecil yang jatuh membentur lantai kayu. Aku bisa mendengarnya karena cukup nyaring suara yang dihasilkan atau memang suasana terlalu sunyi. Tapi tidak lebih buruk saat gadis itu telah lari keluar dari perpustakaan, bisa dikatakan dia melarikan diri. Entah antara malu atau tidak mau dikasihani tentang keadaannya saat ini.

Sementara aku masih terkejut saat ketika bagaimana gadis itu berlari dan menabrak pundakku seolah dia ingin lari dari semua yang telah membuatnya seperti itu. Dia lari dengan ketakutan dan sorot terluka.

Beberapa menit aku habiskan hanya untuk menarik napas dan mengusap dada agar tidak mengejar gadis itu dan ingin menggali lebih banyak informasi, apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Namun, sekelebat niatan itu hilang saat ujung sepatuku menabrak sesuatu di lantai. Pandanganku turun ke bawah dan mendapati sebuah papan nama tergeletak di sana. Sederet nama yang ditulis dengan tinta hitam mencuri sepenuhnya perhatianku pada benda itu. Kilau pada permukaan papan nama menambah agar aku memungutnya. Benda yang kupastikan adalah milik gadis itu jatuh saat dia melewatiku.

Kemudian tanganku terulur bersama dengan tubuhku yang perlahan ikut turun, mengambil benda itu dengan jari-jemariku sekaligus membaca nama yang tertulis di sana.

"Yelin."

*****


THE SCREAM : Whos Next? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang