Copyright by: Kōhei Horikoshi
Happy Reading!!
*****
Todoroki Rei, nyonya dari keluarga pahlawan nomor dua baru saja menyelesaikan terapinya dengan psikater yang menanganinya selama sepuluh tahun ini. Ia baru saja memasuki kamarnya dan hendak membuka pesan dari Fuyumi dikagetkan dengan pintu yang bergeser dengan kencang.
Terlihat Harata, pengawas Kara sekaligus dokter psikolog yang menangani rekonsilalsi dirinya dan sang suami, datang dengan wajah penuh peluh. Pria tersebut mendapat kabar dari si bungsu laki-laki Todoroki, Shouto, kalau anak angkat Enji dan Rei mengalami pendarahan dan saaat ini berada di rumah sakit. Ia segera menuju tempat Rei untuk mengabarkannya, dan tentu saja Rei langsung meminta diantarkan ke rumah sakit yang dimaksud. Rei tidak berpikir apa-apa selain keselamatan anak-anaknya.
Setelah mendapat izin dari dokter penanggung jawabnya, Rei dan Harata langsung berangkat. Sampai disana, wanita dengan empat anak kandung dan satu anak angkat itu menuju resepsionis, bahkan dirinya hanya menggunakan cardigan berwarna abu-abu sebagai luaran dari pakaian pasien yang dikenakannya. Di bawah pengawasan Harata, Rei mendapat izin keluar ruang perawatan dengan mudah. Biasanya ia tidak bisa keluar tanpa izin dari pihak rumah sakit atau penanggung jawabnya. Tetapi Harata dengan mudah menyampaikan pada dokter Sullifan, dokter penanggung jawab Rei, bahwa Rei ingin bertemu dengan putrinya.
Mereka tiba tidak lama setelah kepergian Fuyumi dan Shouto yang kembali ke rumah.
“Kau harusnya memberitahuku, Enji.” Kata Rei setelah mendengarkan kondisi Kara.
“Untung saja dia hanya kekurangan darah, bagaimana jika kau gagal menyelamatkannya?” Lanjutnya.
Enji menghela nafas kasar, “Jika aku tidak mendatanginya mungkin tidak akan ada yang tahu. Entah sejak kapan dia mengalami pendarahan seperti itu.”
Pria tersebut mengepalkan tangannya dan menaruhnya di bawah dagu. Efek dari rekonsilasi yang ia jalankan mengakibatkan dirinya mengalami kegalauan dan ketakutan yang dirasakan. Berbeda dengan sebelumnya, ia tidak merasa ketakutan atau hal lainnya, sekatang perasaan itu nyata dan nampak jelas.
“Aku merasa panik saat itu, perasaan yang tidak wajar. Apa itu baik-baik saja?”
Enji menatap Harata dengan tatapan datar, namun matanya menunjukkan kegelisahan yang tidak dapat diartikan.
Harata menjawab dengan senyuman. Pria berumur 37 tahun ini paham mengapai Enji memiliki perasaan seperti itu. Bukankah berarti terapi yang ia terapkan berhasil? Enji dan rei telah mengalami perubahan yang menabjubkan menurutnya.
“Tidak apa, Todoroki-san. Kau hanya belum terbiasa.” Jawabnya singkat.
Enji menatapnya dengan ragu, “Kau yakin?”
Harata mengangguk, “Bukankah kau bilang dulu kau tidak merasakan apapun? Terlepas dari rasa bersalah yang kau rasakan, kini kau dapat merasakan hal lain. Menurutku itu bagus.”
Kepala keluarga Todoroki itu terdiam atas jawaban Harata. Enji tidak tahu akibat dari rekonsilasi dan terapi yang dilakukannya dapat berakhir seperti ini. Tetapi alih-alih marah, ia justru merasa senang. Bahkan ditatapnya Rei yang menatap balik padanya tanpa rasa takut. Berbeda sekali dengan sepuluh tahun lalu.
Rei yang ditatapnya hanya menatap balik dengan senyuman kecil diwajahnya. Bukan hanya Enji yang merasa senang, dalam hatinya Rei juga senang atas perubahan sang suami. Meski rasa was-was belum hilang, tetapi ia tidak perlu khawatir lagi seperti dulu. Mungkin impiannya untuk melihat keluarga kecilnya bahagia bisa terwujud.

KAMU SEDANG MEMBACA
WELCOME, SECOND LIFE!! (BNHA Fanfiction)
Fantasi[ DIS-CONTINUE ] Warn: tambahan OC, alur berubah, typo dsb. Apa yang terjadi bila kau mati dan hidup kembali di dunia yang berbeda? Inilah yang dialami OC dalam cerita Boku No Hero Academia. Kenapa ia dilempar di dunia yang seharunya hanya sebuah k...