27. Heartbeat

1.1K 130 11
                                    

●●●

Nana lekas beranjak dari posisinya setelah ia melepaskan genggaman tangan Jeno di tangannya. Kemudian ia buru-buru berjalan masuk ke dalam kamarnya dan berakhir duduk di atas kasur.

Kedua tangannya memeluk lutut dan dadanya merasakan deburan jantungnya begitu hebat. Nana berusaha mengatur napasnya, berusaha menyimpan bayangan wajah Jeno saat tadi menatapnya lembut.

Meski ini bukan yang pertama kali Jeno menatapnya seperti itu, namun entah kenapa tatapan yang barusan itu seperti bisa membuat dirinya merasakan sesuatu yang aneh.

Semenjak Jeno melakukan pengucapan janji pernikahan di hadapan semua orang, hati Nana sedikit tersentuh, karena sejauh apapun ia mencari kebohongan di mata Jeno, tapi nyatanya tak ada, pria itu tulud menikahinya meski tidak mencintainya. Singkatnya Jeno sudah pasrah tentang masa depannya tanpa berpikir kapan akan mengakhiri pernikahannya dengan Nana.

Tapi sial beribu sial, Nana tak bisa berbuat apapun. Setiap kali ia merasakan perasaan seperti ini, maka ia akan mengingat bahwa tubuhnya sangat kotor, bahwa akan ada sosok jahat yang akan datang untuk menghancurkan kebahagiaannya jika sampai Nana memiliki kehidupan yang tentram dengan Jeno.
Sosok itu bisa melakukan apapun, termasuk membunuh siapapun yang diinginkannya. Maka dari itu Nana tak pernah berani untuk membuka mulutnya.

Tak lama kemudian, kala Nana berpikir, suara ketukan halus terdengar dari arah pintu.

"Na...ini aku...bolehkah aku masuk?"
Itu suara Jeno. Setelah itu, tanpa dipersilahkan lagi, Jeno langsung membuka pintu. Terlihat pria itu masuk dengan segelas susu cokelat hangat, satu gelas air minum dan sedikit camilan di atas nampan.

Nana tertunduk, menghindari tatapan Jeno, karena ia masih kesulitan mengatur ritme detak jantungnya sendiri.

"Kau keluar pasti karena haus atau lapar. Aku bawakan ini untukmu." Kemudian Jeno menaruh nampan tersebut di atas meja sebelah tempat tidur Nana. Nana melihat jelas wajah Jeno yang pucat dan gerakannya terlihat lesu.

Namun pandangan itu segera ditundukan lagi saat Jeno beralih menatapnya. "Diminum ya susunya, aku akan berjaga di luar. Kalau ada apa-apa, telefon saja. Ponselku selalu aktif." Senyuman lembut Jeno mengembang, membuat Nana semakin tertunduk enggan melihatnya.

"Baiklah, aku keluar..." setelah itu Jeno bergegas. Namun sebelum Jeno sempat melangkah, Nana menggenggam tangannya cukup kuat yang membuat Jeno agak terkejut.

Jeno berbalik, menatap Nana yang melihat dengan bola mata gusar ke arah jendela kamarnya. Seakan-akan ia ingin memberitahu sesuatu tentang apa yang membuatnya takut akan jendela itu.

Jeno pun peka, ia lekas berjalan mendekati jendela kaca menjulang tinggi itu, dan memeriksa, apakah ada hal yang mencurigakan atau tidak.

Namun setelah diperiksa rupanya semua baik-baik saja. Halusinasi Nana memang cukup ekstrim, maka dari itu Jeno harus segera menutup jendela tersebut agar gadis itu bisa tenang. Sampai kemudian ia kembali ke samping Nana.

"Tidak ada apa-apa, oppa sudah menguncinya rapat sekali. Sekarang kau tidurlah, karena ini masih malam."
Nana diam saja saat Jeno membimbingnya untuk berbaring dan memakaikan selimut, gadis itu hanya terus menatap ke arah jendela sambil menggigit kecil kuku jarinya.

Dan gigitan itu terhenti saat Jeno menggenggam lembut tangan Nana. "Jangan digigiti lagi, kasihan jarimu, sudah semerah ini." Kemudian Jeno mencari salep di dalam laci sebelah tempat tidur Nana, lalu mengoleskan salep itu pada jemari Nana dengan hati-hati.

Hawa panas bisa Nana rasakan dari jemari tangan Jeno yang memegangnya. Keringat dingin Jeno juga kelihatan bercucuran. Pria itu sakit, tapi masih ingin merawat istrinya yang kena gangguan pikiran.

Obssesion //Nomin GS Version✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang