Bodoh

799 156 17
                                    

Sudah beberapa hari semenjak pertengkaran Niko dan Ara yang menggemparkan seisi Sekolah, kedua remaja itu tak lagi terlihat besama, bahkan Ara menghilang beberapa hari ini, begitupula Gilang yang diduga sebagai penyebab pertengkaran Niko dan Ara.

Namun, pagi ini Gilang dan Ara kembali terlihat, keduanya berjalan beriringan tanpa memedulikan tatapan juga bisikan dari para penghuni Sekolah.

"Nanti tunggu aja di Parkiran." ucap Gilang saat keduanya sampai di depan kelas Ara.

Ara menggeleng. "Ara dijemput Mama, katanya sekalian mau ke Salon." jawabnya.

"Oh? Baguslah, gue juga emang harus nganter Papa cek Gedung. Jadi, gue gak perlu nganter lo dulu." Gilang mengangguk - angguk kepalanya dengan wajah yang menyebalkan. "Ya udah, gue ke Kelas."

Setelah mendapat anggukan dari Ara, Gilang langsung pergi menuju Kelasnya. Wajahnya tak henti - hentinya mengumbar senyuman, ia senang kala mengingat pernikahan kedua orang tuanya hanya tinggal beberapa hari lagi.

"ANJAY, LANG! GUE KIRA LO ILANG DITELEN BUMI!"

Gilang menutup kedua telinganya saat Nauval menyambutnya dengan pekikan yang meriah. "Berisik lo!" sergahnya sambil melemparkan sebuah undangan ke atas meja.

"Berasa dèja vù gue, Lang!" ujar Arkan, ia mengambil undangan itu. "Wah...! Ngilang, tau - tau nyebar undangan pernikahan lo, Nyet!"

Semua orang kontan menatap ke arah Arkan.

"Gilang mau nikah, Ar? Sama siapa? Ara?" tanya salah satu teman sekelas mereka.

Diam - diam, Niko yang sedari tadi membisu mulai menajamkan pendengarannya.

Gilang lantas melempari teman sekelasnya itu dengan undangan yang ia ambil dari dalam tas. "Ngaco lo, Onta! Tuh, liat! Yang nikah bukan gue sama Ara, tapi Bokap gue sama Nyokap Ara!"

"Hah?! Seriusan lo?! Bukannya lo pacaran sama Ara?!"

Nauval mencibir. "Makanya, punya mulut itu digunain buat nanya baik - baik bukan nyebar gosip." pandangan Nauval beralih pada Niko. "Tapi masih mending, sih. Daripada punya mulut gak dipake cuma karena gengsi." sarkasnya.

Niko terdiam, memandang kosong undangan yang sudah Arkan letakan kembali di atas meja. "Kenapa lo gak bilang?"

"Kenapa lo gak nanya?"

Niko menatap tajam Gilang. Namun, Gilang tak takut. Pemuda itu justru melipat tangannya di depan dada lalu menatap sengit Niko. "Apa? Mau marah? Gue udah pernah nanya ke lo, lho! Tapi gengsi lo ketinggian! Pake nanya 'Apa hak gue?' segala!"

"Nyesel lo?" tambahnya sambil menatap remeh Niko.

Rahang Niko mengeras. Dalam hatinya, ia mengumpati kebodohan yang terus terulang.

"Yah... Karena Ara sekarang udah mutusin lo, jadi gue izinin lo buat deketin dia. Selamat berjuang, Niko. Kata ST12 juga, dunia pasti berputar, kan? Sekarang giliran lo yang ada di posisi Ara."

Mendengar Gilang yang semakin gencar mengejeknya, Niko mengepalkan tangannya.

"Jangan marah gitu, gue cuma mau bikin lo pantes buat Adek gue. Lo tau? Selama ini lo bahkan gak pantes buat disebut cowok. Mana ada cowok yang diperjuangin? Banci lo?"

"Mungkin dengan kayak gini, lo sadar seberapa berharganya Ara." Gilang beranjak dari posisinya. "Gue pamit, mau nganter Bokap. Kalian semua jangan lupa datang." ujarnya sambil berjalan dengan tangan yang melambai - lambai.

"Enak banget idup si Gilang." cibir Nauval yang iri karena Gilang hanya datang ke sekolah untuk mengantarkan undangan.

Sementara itu, Arkan menatap Niko yang memandang kosong ke sembarang Ara. Ia menepuk bahu Niko. "Yang Gilang omongin itu gak salah."

You Never Know [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang