Hipotesis

704 161 10
                                    

Happy Reading ^-^

...

Brak ...

Seketika obrolan itu berakhir saat Niko membuka pintu UKS dengan kasar. "Gue mau ngomong sama Ara."

"Nggak boleh!" sergah Ale sambil menatap Niko tak suka.

Niko lantas menatap Vega yang kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

"Apa lo liat – liat?!" ketus Vega.

"Gue mau ngomong sama Ara," ucap Niko datar.

"Gak boleh. Kita gak ngizinin. Pergi deh, Lo!" usir Lovy seraya menunjuk pintu UKS seolah meminta Niko untuk pergi.

Namun, Niko tetap berdiri di posisinya dengan wajah datar. Ara lantas menghela napas, "Sejak kapan kalian jadi toxic friend kayak gini?"

"What?! Lo manggil kita toxic friend, Ra?! Ish! Inikan demi lo juga!" Ale berujar tak percaya.

Ara terkekeh, "Nggak, kok. Kalian temen Ara yang paling baik. Bisa mendukung Ara, dan selalu bawa Ara ke jalan yang positif."

"Eh, tapi bener juga, sih. Kalo kita ngatur si Ara kayak gini malah terkesannya kita toxic friend," gumam Lovy yang jelas dapat didengar oleh semua orang di sana.

Vega berdecak lalu melirik Ara, "Jadi, lo sendiri gimana? Mau ngobrol sama dia? Kalo mau, kita pergi, tapi kalo gak mau, kita bakal geret dia ke luar."

"Kalian balik ke kelas, gih!"

Ketiganya mengangguk, menghormati keputusan Ara.

"Awas, Lo! Macem – macem, gue pites!" ancam Ale tepat saat melewati Niko.

Lovy menatap Niko dengan tatapan membunuh, "Kalo bikin Ara murung, mati lo di tangan gue!"

Sementara kedua sahabatnya mengumbar kebencian, Vega justru menepuk bahu Niko seolah memberi kekuatan. "Titip temen gue. Jangan jadi banci yang cuma bisa nyakitin cewek," bisiknya.

Dalam hati Niko bergumam salut. Jarang ia menemukan ikatan pertemanan yang begitu kuat diantara perempuan.

Ara berdehem saat merasakan suasana canggung yang mencekam. "Ada apa, Kak?"

"Segitunya?"

Dahi Ara mengernyit, tak paham dengan pertanyaan Niko yang hanya terdiri dari satu kata itu. "Maksudnya? Ara gak paham."

"Segitunya lo mau jadi pacar gue?" tanya Niko dengan tatapan intens yang mengarah pada Ara.

Ara mengangguk antusias, "Iya!" serunya.

"Gak perlu," dingin Niko dengan tatapan yang berubah tajam.

"Kenapa? Kan, Kak Niko yang bilang sendiri kalo Ara harus pinter supaya bisa jadi pacar Kakak." Gadis itu mengerucutkan bibirnya, merajuk.

"Gue gak pernah bilang gitu."

"Lah? Terus minggu lalu?" Ara menatap polos Niko yang masih saja berekspresi datar.

Pada akhirnya, Niko menghela napas lelah. "Gue gak mau pacaran sama cewek bego, itu aja. Dan gue gak pernah nyinggung – nyinggung soal mau jadi pacar lo asalkan lo pinter."

"Berhenti belajar mati – matian cuma buat gue, sia – sia."

"Kata siapa Ara belajar buat Kak Niko? Ara belajar buat masa depan Ara, kok," ujar Ara dengan cengiran khasnya.

Niko mengangkat sebelah alisnya lalu mengangguk. "Bagus," ujarnya sambil beranjak pergi. Namun, Ara mencekal lengannya, "Ara belum selesai ngomong."

You Never Know [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang