🍁CHAPTER 1✔🍁

8.1K 278 10
                                    

"Sedih itu saat kita masih baru memasuki kepala dua, tapi sudah dipanggil Om-Om."

-Noval

Happy reading✨

Nama gue Noval, pria tampan menurut pandangan Mama gue. Kenapa cuma menurut pandangan Mama gue? Ya iya, lah, karena beliau yang hamil dan membesarkan gue. Otomatis gue pasti ganteng dong. Sayangnya, menurut kawan-kawan laknat gue, tidak.

Gue punya teman, namanya Angga. Lalu Angga memiliki Adik yang bernama Rara. Buset, tuh anak kalau ngomong bikin telinga gue sakit, Bro. Asli!

"OM!" teriak seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri gue.

"Apasih, Cil?"

Bocil, gue sering manggil dia Bocil. Dialah Adiknya si Angga, perempuan bar-bar tiada akhlak itu. Padahal sudah kelas 2 SMA, tapi kelakuan dia itu yang bikin gue manggil dia Bocil.

"Om Novel, kata Abang Rara, Oom disuruh main ke rumah."

"Nama gue Noval, kenapa lu manggilnya Novel, sih?" ucap gue kesal. Bayangin, gue dikasih nama bagus-bagus sama orang tua gue, eh, dia seenak jidatnya ubah nama gue jadi Novel. Emangnya gue buku, apa?

"Om juga salah, nama aku tuh Rara, bukan Bocil. Tapi aku gak marah tuh kalau Oom panggil bocil," elaknya merasa tidak mau kalah.

Kalau sudah seperti ini, mendingan mengalah saja. Daripada mendengarkan celotehannya yang tidak bermutu itu.

"Oke-oke, gue gak masalah kalau itu. Tapi, Cil, umur gue kan baru 22 tahun, masa lu tega banget sih manggil gue Oom? Hiks ...." Gue berakting nangis. Ya kali gue masih muda gini dah dipanggil Oom sama dia? Padahal umur kita enggak beda jauh.

"Gak apa-apa. Aku sukanya manggil Oom." Rara menjawab sambil menyengir kuda. Emang gak ada akhlaknya ni orang!

"Terserah lu, deh. Gue pasrah!" ujar gue akhirnya, benar-benar lelah berdebat dengan manusia satu ini.

"Ya udah, yuk antar Rara pulang, Om. Rara udah selesai belanjanya."

Dikira gue tukang Ojek? Enak banget tuh mulut ngomongnya!

"Hayuk, Neng. Apasih yang enggak buat Adiknya si kawan." Gue sengaja berbicara dengan keras, sekaligus menyindir. Namun yang disindir sangat tidak peka.

Detik selanjutnya Rara langsung naik ke motor gue.

"Eh, apa-apaan, ini? Ngapain lu peluk-peluk gue?" Gue tersentak kaget, karena tiba-tiba saja wanita ini meluk gue dari belakang. Gue benar-benar risih!

"Rara ngantuk, jadi pengen sandaran ke punggung Oom. Kalau Rara enggak pegangan, nanti Raranya jatuh, kan kasihan," balasnya dengan nada santai.

Astaghfirullah, sabar!

"Ya udah iya. Pegangan yang kencang ya Adiknya si kawan. Yang tiap hari bawaannya ngajak baku hantam," sindir gue tajam.

Gue lihat si Rara udah gak balas ucapan gue. Eh, tiba-tiba gue merasakan punggung gue terasa berat. Buset, ni orang udah tidur aja, bahkan motor gue belum mulai jalan?

Astaghfirullah, anak siapa ini?

***

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya gue sampai juga di depan rumah si Bocil, Rara.

"Cil, bangun, dong. Kalau gue turun, nanti lu bisa jatuh," ujar gue berbicara sendiri, sedangkan yang diajak berbicara tidak merespon.

Gue heran, selama perjalanan, ni Bocil enggak ada bangun sedikitpun. Emang dasarnya kebo ya begini!

Bocilku Cintaku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang