Happy reading✨
Selama perjalanan, aku dan Om Novel saling diam. Aca sendiri terlihat sangat lelah, sehingga ia langsung tertidur. Sementara Om Novel? Dia sibuk mengemudi tanpa berniat memecahkan keheningan ini.
Huft, lebih baik aku membuka handphone dan berselfie.
Aku membuka kamera, memiringkan posisi handphoneku dan tersenyum manis, sambil berpose dua jari.
Tiba-tiba saja Om Novel menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
"Eh," ucapku cukup terkejut, saat mengetahui ternyata Om Novel ingin ikut berselfie denganku.
"Ih, Oom ngapain, sih?" tanyaku kesal. Sedangkan Om Novel dengan santainya menyandarkan kepalanya di bahuku, dengan senyum sok imut yang ditampilkan di wajahnya.
"Ya elah. Gue ikutan, dong. Pelit amat, lu!" ujarnya mengatakan bahwa aku pelit karena tak mengajak dirinya berserfie.
"Sini gue yang pegang handphonenya. Lu bersandar aja ke bahu gue, soalnya cewe kalau selfienya miring, artinya dia butuh sandaran," lanjutnya kemudian, sambil mengambil alih handphoneku.
"Enak aja Om novel bilang gitu! Emangnya Oom tau dari mana?" tanyaku menantang dan tidak terima dengan apa yang ia katakan.
Perempuan selfie miring karena butuh sandaran? Ya enggak, lah. Selfie miring tuh karena terlihat lebih bagus hasilnya.
"Ya tau, lah. Dah, sewot banget sih, lu!"
"...."
"Kalau gue hitung satu sampai tiga, bilang ciss, ya ...," perintahnya, namun tidak kuhiraukan, dan memilih bodo amat.
"Lama, elah!"
"Cisss."
Om Novel menarik pipiku dari samping, alhasil gambarnya memperlihatkan wajahku yang tampak melebar.
"Huwaa, Om Novel jahat banget! Lihat tuh muka Rara jadi jelek banget, tau!" Aku memakinya dengan sangat tidak terima.
Wajahku astagfirullah. Seenaknya dia menarik wajahku seperti itu!
"Hahaha, kan lu emang jelek!" balasnya santai dan tak memikirkan dampak dari ucapannya itu.
Enak aja aku secantik ini dibilang jelek sama Oom sebleng gada akhlak ini!
"Rara cantik, Oom jelek. Rara muda, Oom TUA!" tegasku dengan menekankan kata 'Tua' di akhir kalimat. Biar saja, agar dia tahu diri, bahwa orang tua seperti dirinya itu tak pantas melawan anak muda sepertiku.
"Lu cantik, kok. Tapi kalau dilihat dari lubang sedotan, hahaha," Om Novel tertawa lepas, dan merasa sangat puas meledekku.
Awas aja!
"Eh, tapi gue beneran, deh. Gue pengen banget foto bareng samalu. Lumayan, lah, kalau lu kangen gue, lu bisa peluk deh foto gue, kalau bisa cium sekalian. Secara, kan, gue tuh orangnya ganteng banget, banyak tuh yang ngajak foto bareng. Harusnya lu bersyukur bisa foto bareng geratis sama gue," ujarnya dengan sombong dan merasa bangga. Tawa yang tadi terhenti, sekarang semakin diperkuat olehnya.
Bentar-bentar. Apa? Bersyukur? Hello ... miror dong miror. Dia itu siapa? Kenapa harus bersyukur? Yang ada harusnya perbanyak istighfar kalau berbicara dengan manusia satu ini.
"Sini handphone Rara, nanti rusak kalau dipegang sama Buto Ijo," ujarku meminta handphoneku kembali. Kulihat matanya melebar, saat mendengarku menyebutnya Buto Ijo.
"Ngomong apa lu barusan? Kalau gue Buto Ijo, berarti lu Mak Kunti. Ha iya Mak Kunti. Secara, lu kan selalu maskeran yang warna putih semua itu, emang mirip banget dah sama lu." Lagi, pria songong ini tak pernah ada kata puas untuk mengejekku. Selalu saja ada kata ejekkan yang ia persiapkan untukku. Huft, aku mengejeknya sekali, nanti dia akan membalasnya berkali-kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bocilku Cintaku (END)
Dla nastolatków🚫WARNING! AWAS BAPER🚫 Katanya, cinta tumbuh karena terbiasa. Namun, apakah cinta juga bisa tumbuh pada dua insan yang cukup terpaut jauh usianya? Entahlah, jika cinta sudah berkuasa, maka akan mengalahkan segalanya. *** "Aku mencintaimu tanpa ala...