Mungkin kita hanya tidak tahu. Jika sebernarnya, menunggu adalah hal paling menyenangkan yang bisa manusia lakukan. Kadang, kita merasa kesal. Kadang, kita merasa itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Namun, sadar tidak sadar setelah itu dua di antara kita pasti akan tersenyum. Ya, lapang sekali.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi kepada dirinya. Karena setiap malam selepas ia bekerja, Damara selalu datang menyambangi kedai tempat di mana ia dan Naya bisa bertemu. Akan tetapi, sudah lebih dari tiga hari, gadis itu tidak juga datang.
"Hei, bukannya kau sedang bermain petak umpet lagi?" tanya Andri. Barista itu sudah benar-benar hafal dengan gelagat sepasang manusia yang selalu datang ke kedainya belakangan ini.
"Tidak. Aku cuma sedang menunggu," jawab Damara.
"Kenapa tidak kau datangi saja rumahnya? Bukannya kau sudah pernah mengantarnya pulang?"
Damara sempat berpikir. Tidak pernah sekali pun pikiran itu terlintas di nalarnya, dan Damara rasa itu bukanlah perkara yang buruk.
"Kenapa aku bisa sebodoh itu?"
"Benarkan?"
"Tapi ...," ucap Damara sambil menarik napas panjang.
"Tapi kenapa?"
"Apa tidak apa-apa aku datang ke rumahnya secepat ini?"
Andri terkekeh. "Ya ampun, kukira kenapa. Tak apa. Kau santai saja. Paling-paling yang akan mengusirmu nanti bapaknya."
"Dan itu bukanlah hal yang lucu jika benar-benar terjadi."
"Aku rasa kau benar."
Sempat hening sesaat. Ketika Andri sedang sibuk dengan pelanggan yang lain, di pikiran Damara sepertinya sedang terjadi pentas cipta kebimbangan. Apa mungkin aku harus menemui Naya di rumahnya? Apa aku tidak terlalu cepat? Bagaimna jika nanti dia merasa terganggu? Tapi, aku ingin secepatnya kabar baik ini sampai di telinganya. Sial.
"Tunggu apa lagi?" tanya Andri setelah laki-laki itu senggang.
Damara terbangun dari lamunannya. "Apa aku benar-benar harus?"
"Tentu saja. Bergegaslah!"
"Baiklah."
***
Naya mengembuskan napas panjang. Ia hanya tidak mengerti. Semakin sini, tugas-tugasnya sebagai mahasiswi bukannya berkurang, malah lebih banyak. Sudah hampir pukul 10 malam, dan ia masih berada di dalam sekre himpunan. Naya bukan satu-satunya manusia yang masih berada di sana. Ada Abil dan beberapa kakak tingkatnya yang mungkin sedang mencari bahan untuk menyusun skripsi.
"Sudah malam, Nay. Kamu masih belum mau pulang, Nay?" tanya Abil.
"Maunya secepatnya, Bil. Tapi, kalau aku pulang sekarang, nanti minat aku buat ngerjain tugas malah hilang."
Abil terkekeh. "Bukannya itu bisa diselesaikan besok, Nay? Kenapa harus sekarang?"
"As soon as possible lebih bagus, Bil."
"Tapi ini udah malam, Nay."
"Tanggung, Bil. Sebentar lagi selesai."
"Ya sudah, biar aku temani."
Naya tersenyum. "Makasih, ya."
Malam itu, Abil banyak sekali bercerita kepada Naya. Tidak tahu untuk apa. Mungkin agar malamnya tidak terlalu hening. Pun sesekali ia tertawa dengan apa yang Abil ceritakan. Hanya saja, ada satu hal yang semesta sembunyikan darinya. Mengenai sosok yang bukan apa-apa, mengenai sosok yang hanya bisa tersenyum di bawah malam dan dirundung awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
andai, jika
RomanceKita seperti gelap dan terang. Yang saling menenggak jarak, mencari-cari sebuah kepantasan antara manusia paling tidak memiliki dan dicintai. Perpisahan kita bukan milik selamanya. Namun, akan kupastikan jika selamanya adalah milik kita.